JAKARTA, KOMPAS.com
— Pihak paling dirugikan oleh draf rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, KUHAP, sebenarnya adalah Mahkamah Agung. Kewenangan MA sebagai judex juris untuk meninjau penerapan hukum dalam putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama dicabut.

Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun mengungkapkan, MA juga dilarang untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari pengadilan di bawahnya (judex facti). ”Kalau dakwaannya tunggal, oke-oke saja. Namun, bagaimana kalau dakwaannya bersifat subsidaritas atau alternatif? Apa kita tidak boleh memilih dakwaan kedua atau ketiga? Kalau dakwaan subsider yang lebih benar, apa tetap tidak boleh?” kata Ketua Ikatan Hakim Indonesia Cabang MA tersebut.

Menurut Gayus, pasal yang mengatur dua hal tersebut sangat mengganggu dan merugikan kepentingan penegakan hukum. KUHAP sebenarnya mengatur tentang putusan bebas yang tidak boleh dikasasi. Namun, setahun setelah pemberlakuan KUHAP atau pada 1983, Menteri Kehakiman mengeluarkan surat keputusan yang memperbolehkan putusan bebas untuk dikasasi. Hal ini dilakukan demi kepentingan hukum dan kebenaran. ”Dengan keadaan sekarang, apa bisa PN dipercaya untuk membebaskan orang,” ujar Gayus.

Ia menegaskan, kerugian yang diderita MA lebih besar dibandingkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keberatan KPK sebenarnya bisa dijawab dengan mempertahankan ketentuan lama atau mencantumkan pasal peralihan tentang UU yang bersifat lex specialis. Pasal 63 Ayat (2) KUHP memberi jaminan bahwa UU yang bersifat khusus harus didahulukan. UU KPK dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan lex specialis.

Terkait pembahasan rancangan KUHP dan KUHAP, Kontras meminta DPR dan pemerintah menghentikannya. Alasannya, kedua rancangan itu malah meniadakan sifat khas dari penanganan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. ”Ini persoalan serius, banyak yang bentrok dengan UU lain,” kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam jumpa pers bersama Kepala Divisi Pembelaan Hak-hak Sipil dan Politik Putri Kanesia, Minggu (2/3). Putri mengatakan, daripada tak maksimal, pembahasan lebih baik ditunda sampai dengan DPR periode berikutnya.

Haris mengatakan, Rancangan KUHP dan KUHAP malah meniadakan kekhususan penanganan pelanggaran HAM berat sebagaimana disebutkan dalam UU No 26/2000. Dalam rancangan KUHP dan KUHAP baru, itu hanya dianggap sebagai pidana biasa.

Secara terpisah, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang mendukung penundaan pembahasan KUHP dan KUHAP. ”Sangat arif dan bijaksana sekiranya pemerintah dan DPR menunda pembahasan revisi KUHP dan KUHAP. Sebaiknya pada era 2009-2014 ini dilakukan dengar pendapat dari semua pemangku kepentingan saja,” tutur Teras. (ANA/EDN/DKA)