"Perppu itu kan pada dasarnya adalah keinginan presiden untuk menjauhkan MK dari orang-orang parpol yang mungkin saja tidak independen dalam membuat putusan. Tapi ini kan ada putusan PTUN yang sejalan dengan Perppu. Jadi presiden seharusnya tidak perlu banding. Pilihan ini soal moralitas dan konsistensi," jelas lulusan Universitas Gajah Mada itu.
Refly mengatakan, bila Presiden SBY serius membenahi lembaga kehakiman itu, maka dia seharusnya tidak mengajukan banding putusan PTUN yang membatalkan Keputusan Presiden Nomor 78/P No 13 Tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati.
Ia menambahkan, perppu yang sudah disahkan menjadi UU oleh Dewan Perwakilan Rakyat itu tidak hanya berlaku bagi DPR dan Mahkamah Agung, tetapi juga Kepresidenan sebagai lembaga yang mengusulkan calon hakim konstitusi.
Presiden SBY, kata Refly, mungkin sudah merasa aman dengan posisi Patrialis Akbar dan Hamdan Zoelva karena perppu itu tidak berlaku surut, terutama soal syarat calon hakim konstitusi yang bebas dari parpol selama tujuh tahun. Patrialis dan Hamdan sebelumnya adalah kader parpol, masing-masing dari PAN dan PBB.
Sejak tahun 2010, menurut Refly, proses pengangkatan hakim MK, terutama oleh Presiden SBY, tidak dilakukan secara transparan dan partisipatif sesuai Pasal 19 dan 20 UU MK yang lama. Dengan kata lain, sejak saat itulah penunjukan hakim MK, seperti Hamdan dan Patrialis, bisa dipertanyakan.
Seperti diberitakan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan memori banding atas putusan PTUN tersebut.
Djoko mempertanyakan mengapa hanya pengangkatan Patrialis dan Maria yang digugat karena ada hakim MK lain yang juga diangkat berdasarkan keputusan presiden.