"Ada satu fenomena memalukan, jelang Pemilu 2014. Yang terjadi di republik ini, pemilu menjadi ajang kompetisi antar penyelenggara pemilu," ujar Didik dalam diskusi "Efektifitas Penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Bagi Pendidikan Politik Masyarakat", di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (14/10/2013).
Dia mengatakan, seringkali Bawaslu menyalahkan keputusan KPU. Lebih lagi, kata dia, putusan Bawaslu tersebut digugat kembali ke DKPP. Padahal, katanya, ketiga lembaga tersebut seharusnya bekerja sama menyelenggarakan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
"Tapi di antara mereka berkompetisi untuk menunjukkan yang terhebat. Ada yang menunjukkan kewenangannya, ada juga yang anggota-anggotanya tidak siap sehingga akhirnya seperti ini," lanjutnya.
Menurutnya, kompetisi antara penyelenggara pemilu akhirnya membuat tumpang tindih antar-lembaga. Efek buruknya, kata Didik, justru membuat bias soal pengambil keputusan atas hasil pemilu.
"Akhirnya nanti sebetulnya siapa yang berwenang memutuskan hasil pemilu. Itu jadi persoalan bersama. Sekarang DKPP yang memutuskan. Padahal seharusnya KPU. Kenyataannya itu yang terjadi," ujar Didik.
Beberapa kali, Bawaslu dan DKPP memutuskan bakal calon anggota legislatif (bacaleg) bahkan partai politik (parpol) lolos sebagai peserta pemilu. Misalnya, Bawaslu sempat memutuskan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) lolos verifikasi faktual menjadi peserta Pemilu 2014.
Namun, KPU tidak mengeksekusi putusan tersebut sampai PKPI dinyatakan menjadi peserta pemilu oleh Pangadilan Tinggi Tata Usaha Negara. DKPP juga pernah meloloskan bakal caleg Partai Amanat Nasional Sylvana Husen, padahal yang bersangkutan sudah dinyatakan gugur oleh KPU.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.