JAKARTA, KOMPAS.com
- Penyusunan daftar pemilih sementara yang saat ini sedang berlangsung semakin dikritisi masyarakat. Proses sosialisasi yang menggugah kesadaran calon pemilih dipandang masih minim sehingga Komisi Pemilihan Umum dituntut lebih proaktif.

Kelompok masyarakat sipil kepemiluan yang merupakan gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Jakarta, Rabu (10/7), seusai menyampaikan berbagai masukan kepada KPU mengungkapkan pentingnya DPS yang komprehensif, akurat, dan mutakhir.

Sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tahapan Pemilu, penetapan DPS oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) tepat pada 10 Juli 2013. Selanjutnya DPS akan diumumkan kepada masyarakat. Kemudian, salinan DPS juga akan diserahkan kepada perwakilan peserta pemilu tingkat kecamatan untuk mendapatkan tanggapan dan masukan sebagai bahan perbaikan.

Pengamat hukum Hasyim Asy’ari mengatakan, banyak masalah ditemukan di lapangan yang dihadapi pemilih. Sebut saja, warga Ahmadiyah yang harus terusir dari kampung halamannya. Warga Syiah di Sampang, Madura, yang harus dipaksa relokasi ke Sidoarjo.

Kemudian, warga Sidoarjo yang terpaksa pindah akibat luapan lumpur Lapindo. Warga Mesuji, Lampung, yang dianggap menduduki tanah sengketa sehingga sampai saat ini tidak memiliki identitas kependudukan. Terakhir, warga korban bencana alam gempa di Aceh. Tak ketinggalan, kaum penyandang cacat yang memiliki hak pilih juga tidak boleh diabaikan dalam proses penyusunan DPS.

Belum lagi, kata Hasyim, masalah program KTP elektronik yang tak kunjung tuntas, warga yang masih beridentitas ganda, pemilih ganda, hingga kinerja penyelenggara pemilu di tingkat pusat sampai Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (Pantarlih) yang belum optimal, bahkan juga anggaran KPU yang belum jelas pencairannya.

”Badan Pengawas Pemilu pun seharusnya sudah mulai bekerja dalam pengawasan supaya ribut-ribut menyangkut daftar pemilih tidak terjadi lagi menjelang pemilu,” ujar Hasyim.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, KPU tidak bisa bekerja sendirian. Karena itu, perlu pendekatan- pendekatan khusus. Urgensi hak pilih dan sosialisasi yang bermasalah harus menjadi pelajaran bersama.

Pemilih pemula

William Umboh, Departemen Kepemudaan Transparency International Indonesia, mengatakan, jumlah pemilih pemula yang berusia 17-20 tahun mencapai sekitar 14 juta. Ini sangat menarik. Namun, sosialisasi yang mengena pada jiwa kaum muda haruslah dilakukan lebih intensif lagi oleh KPU sehingga mendorong para pemula ini untuk sungguh-sungguh menggunakan hak pilihnya. Ini yang belum terlihat dilakukan oleh KPU.

Pantauan Kompas kemarin di beberapa titik di Jakarta ditemukan kekurangan dalam proses pemutakhiran data pemilih Pemilu 2014. (K06/OSA)