JAKARTA, KOMPAS.com - "Kami bukan penjahat, kami hanya ingin bisa beribadah dengan tenang dan damai," ujar Emilia dengan nada tinggi. Wanita berkerudung hitam itu tiba-tiba berbicara lantang soal hambatan yang dialaminya saat ingin beribadah.
Pernyataan Emilia yang mewakili kaum Syiah ini pun langsung mengundang gemuruh tepuk tangan. Mereka yang bertepuk tangan adalah para umat beragama yang sebagian besar adalah kaum rohaniwan.
Pada Senin (8/4/2013) siang ini, mereka datang untuk menyampaikan keluh kesahnya kepada pimpinan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan menggunakan menggunakan atribut keyakinannya mulai dari jubah hitam untuk pendeta hingga peci untuk umat Islam, mereka menceritakan pengalamannya atas ketidak adilan dalam beribadah di neegri ini. Mereka yang hadir di antaranya berasal dari kaum Ahmadiyah, kaum Syiah, para biksu, hingga jemaat HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin. Selain itu, hadir pula perwakilan organisasi keagamaan seperti Gereja Kristen Indonesia (GKI), Kantor Waligereja Indonesia (KWI), dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
"Kami sedih mendapat perlakuan tidak adil. Seolah ada pembiaran dari pemerintah akan kelompok intoleran yang melanggar toleransi internasional tentang kebebasan bernegara," ujar Emilia lagi.
Ia mengaku, sejak dulu kaum Syiah hidup berdampingan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Namun, kini Emilia tidak mendapatkan ketenangan itu lagi. Ia merasa haknya untuk beribadah terkungkung.
Ketua Umum PGI Andreas A Yewangoe menilai, persoalan ini bukan lagi menjadi masalah agama, melainkan sudah menjadi masalah bangsa. "Kemerdekaan beragama dan beribadah diatur sangat keras itu harus dikembalikan. Janganlah negara ini diperintah oleh kelompok-kelompok yang intoleran. Jangan negara diserahkan kepada tindakan intoleran yang melampaui konstitusi," ujar Andreas.
Adven Nababan dari HKBP Setu juga mengeluhkan sikap pemerintah daerah yang sudah menciderai kerukunan beragama. "Pembongkaran gereja, lebih banyak intervensi kelompok tertentu, tapi pemerintah sangat lemah di sini," kata Adven.
Menanggapi segala keluhan itu, Ketua MPR Taufik Kiemas berjanji akan menyampaikannya langsung ke Presiden. Taufik menganalogikan Indonesia layaknya batang yang menjadi tempat berdiri Garuda Indonesia. Batang tipis itu bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.
"Batang itu sangat tipis, tapi kalau goyang, tidak akan ada lagi Indonesia yang kita cintai. Jadi, hidup NKRI tergantung pada kerukunan beragama bahwa kita ini negara majemuk, yang merupakan karunia Tuhan. Saya akan sampaikan ini dalam pertemuan lembaga negara dan Presiden," kata Taufik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.