JAKARTA, KOMPAS.com - "Saudara Mibakhun, silahkan tandatangani surat ini," kata seorang penyidik Bareskrim Polri seusai pemeriksaan. Misbakhun terkejut setelah tahu bahwa surat yang disodorkan adalah surat perintah penangkapan.
"Yah, saya kira pemeriksaan sudah selesai dan Anda terbukti bersalah dalam kasus ini. Silahkan tandatangan," kata penyidik itu lagi.
"Ini tidak masuk akal. Anda melakukan pemeriksaan secara parsial. Apa dasar hukum penangkapan saya? Saya tidak mau tandatangani surat ini," kata pria bernama lengkap Mukhamad Misbakhun itu.
Begitulah gambaran ketika Misbakhun seusai diperiksa untuk pertama kali di Bareskrim Polri, Jakarta, pada 26 April 2010 . Ketika itu, Misbakhun dituduh melakukan kejahatan perbankan atau pemalsuan letter of credit bodong PT Selalang Prima Internasional. Misbakhun menjabat komisaris perusahaan itu.
Situasi itu kemudian direka ulang dalam drama treatikal ketika peluncuran buku "Melawan Takluk Perlawanan dari Penjara Century" karangan Misbakhun di Hotel Atlet, Jakarta, Senin ( 15/10/2012 ).
Peluncuran buku itu dihadiri sejumlah tokoh seperti mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hadjriyanto Y Thohari, pakar hukum tata negara Yusril Izha Mahendra, pengamat politik Yudi Latif dan Ikrar Nusa Bhakti, serta sejumlah politisi.
Situasi pemeriksaan di Bareskrim itu juga diceritakan Misbakhun dalam bukunya. Diceritakannya, ketika itu pemeriksaan dimulai pukul 11.00 WIB. Dia menjawab total 57 pertanyaan sebelum dihentikan sementara pukul 18.30 WIB. Namun, sebagai orang yang cukup paham teknis perbankan, Misbakhun merasa semua pertanyaan tidak subtansial atau tidak memiliki korelasi dengan apa yang dituduhkan.
Saat menunggu kelanjutan proses pemeriksaan, pukul 20.00 penyidik malah menyodorkan surat perintah penangkapan. Dia menolak.
"Jika saya menandatangani surat penangkapan itu, artinya sangat jelas saya merestui proses pemeriksaan itu sebagai sebuah landasan hukum yang cukup untuk dijadikan dasar penangkapan. Dalam bahasa yang lebih lugas, saya menyatakan bahwa diri saya bersalah. Dalam bahasa yang lebih lugas lagi, saya menerima segala tuduhan yang tidak jelas juntrungannya itu yang mereka timpakan ke saya," kata Misbakhun.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu juga menolak menandatangani surat perintah penahanan. Berita acara penolakan tandatangan atas surat perintah penangkapan dan penahanan juga sempat ditolak ditandatanganinya.
Setelah menolak, petugas Bareskrim Polri menyampaikan berbagai argumen hukum agar mau menandatangani. Dia tetap menolak. Kondisi deadlock terjadi sampai pukul 23.00 WIB. Akhirnya, Misbakhun bersedia menandatangani asalkan ada perubahan redaksional dalam berita acara penolakan tandatangan.
"Saya akan bersedia menandatangani jika asalan penangkapan saya dirubah menjadi ditahan karena saya melawan Susilo Bambang Yudhoyono," kata salah satu inisiator Hak Angket Bank Century itu.
Bagi Misbakhun, kalimat itu menyangkut prinsip yang paling fundamental dalam hidupnya. Perubahan redaksional itu, menurut dia, bermakna penahanan bukan lagi keputusan hukum objektif tetapi intervensi subjektif kekuasaan atau penahanan politis.
"Bagi saya, perubahan kalimat itu menjadi simbol disparitas antara hukum dan keadilan. Dan politik kekuasaan adalah tembok pemisahnya. Hukum tidak bersua dengan keadilan karena dihalangi oleh politik kekuasaan. Politik kekuasaan mengkooptasi hukum sekaligus menerabas prinsip keadilan. Hukum tidak lagi independen. Keadilan tak lagi objektif," cerita Misbakhun.
Akhirnya, petugas Bareskrim bersedia. Redaksional dirubah dengan "Misbakhun tidak bersedia menandatangani surat perintah penangkapan, berita acara penangkapan, surat perintah penahanan, berita acara penahanan dan surat pemberitahuan penangkapan dan penahanan dengan alasan saya ditahan karena saya melawan SBY".
"Yang saya tandatangani adalah bukti otentik kekalahan mereka. Surat itu memberi saya kehormatan di depan hukum dan keadilan. Sebuah kehormatan karena saya menegakkan prinsip hukum dan keadilan demi melawan politik kekuasaan," kata Misbakhun.
Seperti diberitakan, pada putusan tingkat pertama November 2010, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus Misbakhun bersalah dan menghukum penjara selama satu tahun. Putusan banding Pengadilan Tinggi DKI memperberat hukuman menjadi dua tahun penjara. Di tingkat kasasi, Misbakhun juga dinyatakan bersalah.
Mahkamah Agung lalu mengabulkan seluruhnya permohonan peninjauan kembali yang diajukan Misbakhun. Putusan PK menyebutkan Misbakhun bebas dari segala dakwaan. Selain itu, majelis hakim juga memutuskan agar harkat dan martabat Misbakhun dipulihkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.