JAKARTA, KOMPAS.com -- Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) memberi pembebasan bersyarat terhadap terpidana kasus cek pelawat, Panda Nababan, dipertanyakan. Kebijakan tersebut dinilai tidak konsisten dengan kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk narapidana kasus korupsi, terorisme, narkoba, dan kejahatan transnasional.
Pendapat tersebut diungkapkan oleh peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, Kamis (31/5/2012).
Seperti dilansir sejumlah media, Panda Nababan telah keluar dari penjara sejak 2 Mei. Ia dipidana selama 17 bulan dan denda Rp 50 juta subsidair tiga bulan kurungan karena dinilai bersalah telah menerima cek pelawat (travel cheque) dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom pada 2004.
Donal mengatakan, pembebasan bersyarat untuk Panda menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki ageda pemberantasan korupsi yang jelas. Padahal, pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat sebenarnya sangat penting dalam memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
"Apalagi Panda hanya dihukum 17 bulan saja. Jika diberikan pembebasan bersyarat dia hanya menjalani dua per tiga dari masa hukumannya," ujar Donal.
Dengan kejadian pembebasan bersyarat Panda, Donal berkesimpulan bahwa pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat sebenarnya hanya merupakan angin surga semata. Praktiknya, remisi dan pembebasan bersyarat tetap diberikan kepada napi kasus korupsi.
Panda ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 28 Januari 2011.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.