Sementara itu, Yesmil Anwar, kriminolog dari Universitas Padjajaran Bandung memiliki pandangan sendiri mengenai aksi unjuk rasa yang diakhiri adu otot antara polisi dan pengunjuk rasa. Menurutnya, dalam Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Nomor 9 tahun 1998, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 tahun 1999 telah tertulis dengan jelas bagaiman hak untuk mengungkapkan pendapat dan prosedurnya.
Namun baik pengunjuk rasa maupun polisi, tak peduli pada aturan yang berlaku. Hal ini mengakibatkan dua belah pihak cenderung bersikap semaunya. "Dua belah pihak sama-sama cuek. Pengunjuk rasa ada yang enggak peduli aturan. Polisinya juga harusnya bisa mencegah. Penegakan hukum kan bukan hanya bertindak keras, tapi juga mencegah sebelum aksi terus berlanjut," kata Yesmil saat dihubungi Kompas.com.
Selain sikap tak peduli, menurut Yesmil, kultur demokrasi di Indonesia juga sudah terlanjur rusak karena belajar dari masa lalu yang oenuh aksi-aksi ricuh dalam menyampaikan pendapat, termasuk aksi kekerasan yang dilakukan polisi ketika menjaga unjuk rasa. Kultur ini yang, kata dia, susah dihilangkan.
"Lama-kelamaan jadi demokrasi dengan kekerasan dan tidak secara intelektual. Cenderung karena mengutamakan ingin menyampaikan pendapat tapi dengan cara yang tidak beradab. Mengatasnamakan demokrasi, tapi caranya tidak sesuai," tegasnya.
Kekerasan yang terjadi antara dua belah pihak ini ia ibaratkan seperti telur dan ayam. Kadang mereka tak menyadari siapa yang mengawali kericuhan. "Ya sudah seperti telur dan ayam. Dua-duanya berbuat, jadi tidak tahu siapa yang duluan mengawali," ujarnya.
Terakhir, kata Yesmil, untuk menghindari adu jotos polisi dan pengunjuk rasa, alangkah baiknya polisi memperbanyak penggunaan water canon dalam menghentikan aksi anarkis massa. Ini akan membantu mengulur waktu agar kedua belah pihak dapat berkonsolidasi meredam kericuhan. Peluru tajam dan peluru karet, hanya akan menambah amuk massa yang merasa terintimidasi.
"Lihatlah di beberapa negara di Eropa. Mereka justru perbanyak water canon. Pakai saja itu, daripada peluru tajam dan peluru karet yang identik dengan kekerasan dan pelanggaran HAM. Semua aksi bisa berjalan damai, jika semua sadar hak dan kewajibannya," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.