JAKARTA, KOMPAS.com- Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh Kejaksaan Agung atas perkara yang dihadapi dua pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, menimbulkan keheranan anggota Komisi III DPR RI dari PDIP, Gayus Lumbuun.
"Saya ingin katakan tentang Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Praperadilan itu tidak boleh di-PK, ada SEMA yang mengatur. Pengajuan PK ini tidak sesuai dengan aturan hukum," ucap Gayus melalui telepon, Kamis (10/6/2010).
Menurutnya upaya hukum praperadilan SKPP Bibit-Chandra sudah tidak ada lagi. "Artinya ketika sudah ditolak Pengadilan Tinggi, ini tidak bisa lagi kasasi dan tidak bisa PK," imbuhnya.
Politisi yang juga seorang profesor hukum ini pun menilai, pengajuan PK dari Kejaksaan Agung merupakan bentuk penguluran waktu dan menyandera kasus Bibit-Candra, sebab harus menunggu waktu kapan PK itu selesai.
"Ini janggal sekali, kan dalam SKPP ada dua alasan, pertama demi kepentingan umum dan kedua untuk kepentingan sosiologis. Ada dua kepentingan untuk penghentian kasus tersebut," terangnya.
Ditambahkan Gayus, sebelumnya Jaksa Agung sudah menyatakan kasus penyuapan Bibit-Chandra sudah P-21, yang berarti berkas kasusnya sudah lengkap dan siap di;anjutkan ke pengadilan. "Saya berpendapat ini harusnya dihentikan, karena ada missing link, bukan karena sosioligis. Yang namanya Yulianto itu kan belum pernah diungkapkan. Artinya ini tidak layak dimajukan kepada pengadilan," paparnya.
Ia menyarankan seharusnya Jaksa Agung menghentikan kasus Bibit-Chandra demi hukum (deponeering). "Nasib Bibit-Chandra sekarang terkatung-terkatung, artinya tidak boleh aktif di KPK, karena keduanya kembali berstatus sebagai tersangka," katanya lagi.
Menurut Gayus, masalah hukum Bibit-Chandra adalah upaya untuk melemahkan KPK. "PK ini adalah bagian dari pelemahan KPK yang hanya dipimpin dua orang," jelasnya.
Ia lebih setuju untuk men-deponeering-kan kasus Bibit-Chandra. Sebab kalau PK hanya mengulur waktu. "Jaksa Agung bukan pihak yang boleh mengajukan PK. Dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1), PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Kecuali bebas atau lepas," katanya.
Bila kembali kebelakang, Jaksa Agung menurut Gayus pernah melanggar sekali aturan ini, saat menangani kasus Muchtar Pakpahan. "PK saat itu sekali-kalinya dipakai lalu dijadikan yurisprudensi. Yang boleh PK itu kan terpidana dan ahli warisnya," terangnya. (Adi Suhendi)