Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cari Aman, Media Massa Abaikan Jurnalisme Investigasi

Kompas.com - 07/05/2008, 22:08 WIB

 

JAKARTA, RABU -- Peluncuran buku Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru (penerbit Yayasan Obor Indonesia dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, April 2008), Rabu (7/5) di Bentara Budaya Jakarta, tidak saja mengungkap independensi dan keberanian seorang jenderal wartawan bernama Mochtar Lubis, tapi juga menyinggung media massa sekarang yang jarang melakukan jurnalisme investigasi.

Para pembicara seperti Masmimar Mangiang, staf pengajar jurusan komunikasi Universitas Indonesia, Ignatius Haryanto, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dan Adnan Buyung Nasution, advokat dan rekan Mochtar Lubis dalam penjara Nirbaya, serta penanggap Leo Batubara dari Dewan Pers dan Arya Gunawan, mantan wartawan dan kini bekerja di Unesco, cenderung mempertanyakan, kenapa tidak ada lagi wartawan seperti Mochtar Lubis yang bersikap kritis terhadap rezim penguasa, dengan melakukan jurnalisme investigasi atau investigative reporting.

" Koran Indonesia Raya yang berkali-kali kena bredel, tidak berat, tapi gamblang. Berat karena isinya serius, ya," kata Masmimar menanggapi Anton, penanya dalam sesi dialog. " Sayangnya, Mochtar Lubis tidak mempunyai kader, tidak punya putra mahkota. Memang tidak muncul orang seperti dia. Memang cukup sulit. Investigative reporting perlu terus menerus diupayakan, seperti yang dilakukan Mochtar Lubis."

Karena kurangnya jurnalisme investigasi, Ignatius Haryanto, terdorong menggelar Mochtar Lubis Award, yang salah satu kategorinya khusus untuk liputan investigasi. Bahkan Mochar Lubis Award juga menyediakan beasiswa untuk peliputan investigasi yang akan diberikan selama periode 4 bulan. "Hasil akhir dari beasiswa ini nantinya adalah penerbitan buku karya investigasi tersebut," ujarnya.

Adnan Buyung Nasution yang cerita panjang awal pertemuannya dengan Mochtar Lubis, sempat menyentil sebuah media yang mengklaim sebagai media investigasi pertama. " Itu keliru. Investigative reporting sudah dilakukan Mochtar Lubis dari dulu dan melaporkannya di Indonesia Raya. Kasus korupsi dan skandal seks, sudah dari dulu dibongkar Mochtar Lubis, yang membuat Soekarno marah. Sampai-sampai Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, ditangkap di bandara, terkait kasus yang dibongkar Mochtar Lubis. Sekarang mana ada menteri yang ditangkap? " katanya.

Leo Batubara, dari Dewan Pers, dalam sesi dialog mengatakan, kondisi sekarang tak memungkinkan wartawan bisa menulis liputan investigasi. Pemerintah dengan gampang menjerat melalui perundang-undangan, termasuk yang baru Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. " Ini memberi isyarat, jika siap 'di-Mochtar Lubis-kan' (dipenjara), silakan lakukan liputan investigasi," ujarnya.

Karena itu pula, Arya Gunawan, ketika dialog mengatakan bahwa banyak pemilik modal di media massa yang mencari aman. "Jangan heran, liputan investigasi jarang kita lihat di media massa dewasa ini. Pemilik modal hanya mencari aman, " ujarnya.

Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, mendukung penuh Penghargaan Jurnalistik Mochtar Lubis (Mochtar Lubis Jurnalism Award) yang bertujuan untuk menunjukkan kepada publik karya-karya jurnalistik terbaik Indonesia. Meningkatkan kredibilitas dan prestasi jurnalisme yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses demokratisasi di Indonesia. " Dedikasi Mochtar Lubis dalam bidang pers cukup besar dan sikap beliau hitam-putih. Wartawan-wartawan muda sekarang perlu mewarisi semangat dan sikap yang ditunjukkan Mochtar Lubis dalam memperjuangkan kebebasan pers," katanya.

Tentang kenapa Mochtar Lubis bersikap berani dan tidak tahan terhadap ketidakadilan, Taufiq Ismail yang pernah bersama Mochtar Lubis selama 38 tahun di Majalah Sastra Horison, sempat menanyakannya. "Jawaban Mochtar Lubis ketika itu, baca cerpen Kuli Kontrak. Baca berulang-ulang," ungkapnya. Buku Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru yang didiskusikan itu, ditulis tahun 1975 saat penulisnya ada di penjara. Naskah ini pertama kali terbit dalam bahasa Belanda 4 tahun sesudah ditulis. Dan 33 tahun kemudian, baru bisa terbit dalam khasanah perbukuan di Indonesia dalam rangka program Mochtar Lubis Award.(NAL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com