JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mendesak desain keserentakan pemilu diubah agar beban kerja petugas pemilu bisa lebih berkurang lagi.
Dengan begitu, resiko petugas kelelahan hingga jatuh sakit atau meninggal dunia bisa ditekan seminim mungkin.
Berdasarkan data KPU dan Bawaslu hingga 18 Februari 2024, sedikitnya sudah 84 petugas pemilu tutup usia sejak hari pemungutan.
Ribuan lainnya sakit, termasuk menjalani rawat jalan dan inap.
Jumlah ini memang turun drastis dibandingkan kematian 894 petugas pemilu pada 2019.
Namun, masih tingginya jumlah kematian petugas pemilu dianggap membuktikan bahwa terobosan KPU dan pemerintah belum sepenuhnya menekan beban kerja petugas pemilu.
Titi yang merupakan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengungkapkan, sejak lama pihaknya mengusulkan agar pemilu serentak dibagi menjadi pemilu serentak nasional dan lokal.
Dengan model itu, pemilu legislatif (pileg) DPRD provinsi dan kabupaten/kota tak perlu berbarengan dengan pilpres, pileg DPR RI dan DPD RI, karena akan dilangsungkan bersamaan dengan jadwal pilkada.
Sehingga, petugas KPPS pada pemilu serentak nasional hanya akan menghitung surat suara pilpres, pileg DPR RI, dan DPD RI.
Hal ini dianggap lebih rasional, karena penghitungan suara harus beres maksimum 23 jam usai pemungutan suara dengan segala kendala teknis yang mungkin terjadi di lapangan.
"Kami menilai desain keserentakan seperti itu lebih cocok untuk Indonesia dengan jeda 2 tahun mempertimbangkan waktu seleksi penyelenggara pemilu," sebut Titi kepada Kompas.com, Selasa (20/2/2024).
"Selama model keserentakan pemilunya masih seperti sekarang dengan kombinasi sistem pemilu proporsional terbuka untuk pemilu DPR dan DPRD, saya yakin kelelahan petugas yang berisiko sakit dan meninggal akan terus terjadi," tegasnya.
Kendala-kendala seperti rusaknya mesin pengganda/fotokopi, kurang atau terlambatnya surat suara, hingga ketidakcocokan data merupakan tantangan yang sangat menguras energi dalam waktu yang memburu seperti itu.
Bukan hanya waktu kerja di TPS yang sangat padat, para petugas KPPS juga harus menghadapi maraton proses rekapitulasi perolehan suara secara manual berjenjang di kecamatan.
Hal yang sama berlaku bagi petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kelurahan dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Semakin banyak jenis pemilu yang harus dihitung, maka beban kerja semakin banyak, potensi kendala teknis semakin sering terjadi, sedangkan waktu yang ada begitu terbatas.
"Bayangkan, jumlah TPS dalam suatu kecamatan kan tidak sedikit," kata Titi.
Pada akhirnya, petugas pemilu banyak mengorbankan waktu tidur dan bekerja jauh di atas ambang normal sembari menghadapi tekanan waktu dan stres.
"Ditambah lagi asupan makan dan minum yang tidak maksimal berkelindan memicu kelelahan yang berdampak pada kambuhnya sakit bawaan atau malah mengakibatkan sakit," ujar Titi.
Titi mengonfirmasi bahwa perubahan desain keserentakan pemilu ini membutuhkan revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada. Namun, hal ini bukan tidak mungkin.
"Secara model, tawaran keserentakan nasional dan daerah tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. Bahkan pilihan itu masuk model keempat dari 6 model (pemilu serentak) yang ditawarkan MK," ungkap Titi.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/20/12385691/kematian-petugas-pemilu-tinggi-pakar-desak-pemilu-serentak-direvisi