JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta yang menjadi usul inisiatif DPR, dinilai sebagai bentuk kemunduran demokrasi oleh sejumlah anggota DPR.
Sebabnya, salah satu pasal yang diatur dalam rancangan beleid itu adalah gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tidak akan dipilih langsung oleh rakyat, tetapi ditunjuk oleh presiden atas usul atau pendapat Dewan Perwakilan Daerah (DPRD).
"Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD," demikian bunyi Pasal 10 Ayat (2) RUU DKJ yang sudah ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR pada Selasa (5/12/2023) kemarin.
Ketua Panitia Kerja RUU DKJ Achmad Baidowi menjelaskan, norma tersebut dibuat sebagai jalan tengah karena ada aspirasi agar tidak usah ada pilkada tetapi gubernur dan wakil gubernur langsung ditunjuk presiden.
Sementara, DPR juga memperhatikan ketentuan di dalam konstitusi yang menyebut kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis.
Awiek, sapaan akrabnya, mengeklaim bahwa ketentuan itu tidak menghilangkan proses demokrasi karena penunjukan gubernur dan wakil gubernur tetap melalui usulan DPRD.
"Pemilihan tidak langsung juga bermakna demokrasi, jadi ketika DPRD mengusulkan ya itu proses demokrasinya di situ. Sehingga tidak semuanya hilang begitu saja," ujar politikus PPP itu.
Dalam rapat paripurna DPR kemarin, 8 dari 9 fraksi di parlemen menyetujui agar RUU DKJ ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, mengakui bahwa partainya menolak aturan gubernur ditunjuk oleh presiden.
"PKS menolak pasal ini. Jangan kebiri hak demokrasi warga Jakarta," kata anggota DPR dari daerah pemilihan DKI Jakarta I itu.
Mardani pun mengaku tidak tahu menahu mengenai siapa yang mengusulkan agar pilkada dihapus di Jakarta.
Senada, anggota DPR dari Fraksi Nasdem Ahmad Sahroni juga mengaku tak sependapat dengan draf RUU DKJ, meski partainya setuju akan ketentuan tersebut.
Anggota DPR dari daerah pemilihan DKI Jakarta III ini menilai, ketentuan tersebut merupakan sebuah kemunduran bagi demokrasi.
"Secara pribadi saya enggak setuju, sebagai pribadi dapil Jakarta ini kemunduran demokrasi," kata Sahroni.
Menurut dia, ketentuan tersebut bakal menimbulkan pertanyaan publik mengenai tata cara pemilihan kepala daerah.
"Kalau mau demikian, kenapa enggak semuanya ditunjuk presiden sampak ke walikota, itu lebih baik daripada hanya dikhususkan Jakarta," ujar Sahroni.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD tak mempermasalahkan norma tersebut.
Ia berpandangan, hal itu dibuat DPR demi mempertahankan kekhususan Jakarta setelah tak lagi menjadi ibu kota negara.
"Kalau saya sih ndak mempersoalkan itu, karena DPR sudah lama berdebat bersama pemerintah. Kan kesimpulannya itu karena DKI dianggap khusus kan, daerah khusus Jakarta, jadi dikelola secara khusus (sistem pemerintahannya)," kata Mahfud, Selasa malam.
Ia pun mengingatkan bahwa ada daerah lain yang tidak memberlakukan pilkada untuk memilih kepala daerah, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk diketahui, RUU DKJ akan mengatur kekhususan Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara, sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
Dalam UU IKN disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia harus diubah sesuai ketentuan dalam UU IKN maksimal 2 tahun setelah UU IKN diundangkan.
Artinya, RUU DKJ harus resmi diundangkan sebelum 15 Februari 2024 karena UU IKN diundangkan pada 15 Februari 2022.
https://nasional.kompas.com/read/2023/12/06/08363861/wacana-menghapus-pemilihan-langsung-gubernur-dki-di-dalam-draf-ruu-dkj