Salah satu korban eksil 1965, Karsidi Rantiminpeotro mengatakan, upaya memulihkan hak eksil yang terkatung-katung di luar negeri gagal diwujudkan oleh Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid dan Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.
“Karena dari segi politik dulu-dulunya enggak ada yang berhasil,” kata Karsidi dalam pertemuan dengan pemerintah Indonesia di Praha, Ceko, Senin (28/8/2023).
Pertemuan itu dihadiri Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly.
Pemerintah Indonesia, melalui Mahfud dan Yasonna berupaya memulihkan hak konstitusional para korban eksil 1965.
Salah satunya dengan memberikan layanan keimigrasian khusus hingga bantuan alih status kewarganegaraan kepada para eksil yang ingin pulang, meninggal, dan dimakamkan di Tanah Air.
Karsidi mengatakan, keberhasilan Presiden Jokowi dalam upaya memulihkan hak para korban eksil 1965 secara nonyudisial karena memiliki kekuatan politik yang kuat.
Jokowi juga dinilai memiliki cukup keberanian untuk mencetuskan kebijakan terkait korban yang kerap dicap kiri atau terafiliasi komunis oleh rezim Presiden Soeharto.
Namun, menurut Karsidi, akan menjadi persoalan ketika Presiden Jokowi tidak lagi berkuasa dan tidak lagi memiliki keberanian seperti saat ini.
“Jadi, apakah ini bisa dipertahankan untuk apa yang Bapak kerjakan sekarang ini bisa langgeng untuk diteruskan ke selanjutnya?” ujar Karsidi.
Menurut Mahfud, kebijakan ini tidak akan berhenti pada waktu tertentu. Sebab, mendapatkan izin kembali ke Tanah Air hingga kembali menyandang status warga negara Indonesia (WNI) merupakan hak para eksil 1965.
“Terus Pak, pasti terus, karena kan ini kebijakan berlaku bagi Bapak-Bapak dan diberikan sekarang dan tidak akan terputus. Artinya, dengan sendirinya hak ini diberikan,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, jika suatu hari kembali terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, maka kasus itu akan dibawa ke Pengadilan HAM.
Pembentukan Pengadilan HAM akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Namun, perkara pelanggaran HAM berat 1965 yang menimpa para eksil akan disidangkan di pengadilan ad hoc.
“Siapa yang melakukan pelanggaran HAM berat kita sudah menyediakan pengadilan baru di Indonesia namanya Pengadilan HAM,” ujar Mahfud.
“Tidak boleh terjadi lagi seperti ini,” katanya melanjutkan.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), saat ini terdapat 139 orang eks Mahid (mahasiswa ikatan dinas era Presiden Soekarno). Sebanyak 138 di antaranya tersebar di 10 negara Eropa dan satu orang lainnya di Asia.
Korban eksil 1965 paling banyak menetap di Belanda dengan jumlah 67 orang, disusul Ceko 14 orang.
Di Rusia, terdapat satu orang korban eksil 1965. Tetapi, ada 38 orang keturunan eksil. Di luar Eropa, satu-satunya eks Mahid tinggal di Suriah.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/29/19495981/korban-eksil-1965-pertanyakan-nasib-kebijakan-pemerintah-usai-jokowi-lengser