Dalam surat tersebut, Abdul Hakim menyampaikan permohonan untuk bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kaitannya dengan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Pasalnya, setelah Dedi Hamdun menjadi korban penculikan sekitar 26 tahun lalu, keluarga besarnya belum sekalipun mendapatkan bantuan dari pemerintah.
"Sebenarnya ini langkah jemput bola kami karena kan waktu itu Pak Menko (Menko Polhukam Mahfud MD) ngomongin kalau Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) itu sudah berkoordinasi dan mendengarkan aspirasi keluarga korban," ujar Abdul Hakim di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Senin.
"Kami salah satu korban yang 26 tahun ini terputus komunikasinya dengan pemerintah. Jadi salah satu langkah kami, kami mengajukan kepada Presiden. Kami berharap untuk diundang audiensi untuk mendengarkan aspirasi kami, seperti itu," ucap dia.
Dedi Hamdun, pengusaha ya
Untuk diketahui, Dedi Hamdun merupakan pengusaha yang juga aktif dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dia juga sempat terlibat dalam kampanye mencari dukungan untuk Megawati Soekarnoputri dan Sri Bintang Pamungkas (Mega-Bintang) pada 1997.
Saat itu, Mega-Bintang menjadi simbol perlawanan kepada rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden kedua RI, Soeharto.
Dedi Hamdun diketahui hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997, tepat saat pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di tahun tersebut.
"Ayah saya itu (korban) penghilangan paksa 97 atas nama Dedi Hamdun yang hilang bersama 14 orang sampai sekarang belum pulang," kata Abdul Hakim.
"Kan ada pemulihan hak-hak korban. Hak-hak korban itu kan kami belum pernah ditanya apa kira-kira, audiensi untuk berbicara tentang itu dan ada beberapa hal rahasia yang ingin kami sampaikan," lanjutnya.
Menurut Abdul Hakim, hilangnya Dedi Hamdun membuat keluarganya sangat terpukul.
Bahkan, ibu dan adiknya mengalami depresi berat dan harus mendapat bantuan medis hingga saat ini.
Selain itu, sepeninggal ayahnya harta keluarga mereka menjadi objek penjarahan dan perampokan.
"Jadi untuk seperti itu makanya kami ingin bertemu (Presiden) untuk menyampaikan aspirasi kami lah," kata Abdul Hakim.
"Secepatnya kalau bisa (bertemu) minggu ini lah karena kami dengar tim PPHAM ini deadline-nya cuma sampai 31 Desember," tuturnya.
Selama ini, lanjutnya setiap kali pemilu keluarganya seperti merasa diberikan harapan palsu terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Habis pemilu hilang. Kami pun sudah lima kali pemilu setiap lima tahun itu dibuka lukanya, disuruh mengingat kejadiannya lagi, habis itu dihilangkan lagi," kata Abdul Jakim.
"Jadi selalu berulang. Saya agak optimis karena Pak Jokowi dan ada Pak Mahfud di sini yang memimpin ini, InsyaAllah ini akan selesai," tambahnya.
23 orang dihilangkan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) mencatat terdapat 23 orang telah dihilangkan oleh negara.
Dari angka penculikan tersebut, 1 orang dinyatakan meninggal, yaitu Leonardus Gilang, sembilan orang dilepaskan, dan 13 lainnya masih menghilang sampai saat ini.
Dalam kasus penculikan aktivis 1997/1998, Kopassus membuat tim kecil untuk melakukan operasi penculikan tersebut.
Tim kecil ini disebut Tim Mawar, dibentuk karena peristiwa 27 Juli 1996.
Kala itu, para preman didukung tentara merampas kantor dan menyerang simpatisan yang mendukung Megawati di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat
Tim Mawar bertugas untuk mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan, dan teror.
Peliknya kasus penculikan aktivis 1997/1998 ini kemudian diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan UU No 26/2000.
Tim penyelidik Komnas HAM mengusut kasus penculikan tersebut sejak 1 Oktober 2005 hingga 30 Oktober 2006.
Setelah mendapat hasil penyelidikan, di mana 1 orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas.
Komnas HAM pun menyimpulkan terdapat bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997/1998.
Kesimpulan ini diambil berdasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan warga.
Akhirnya, tanggal 22 Desember 2006, Komnas HAM meminta DPR agar mendesak Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus penculikan tersebut.
Tak hanya itu, pada 7 Februari 2007, Ketua DPR Agung Laksono juga meminta Presiden Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk melakukan penyelidikan berdasarkan temuan Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus penculikan 13 aktivis.
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/31/23315611/surati-kemensetneg-anak-korban-penculikan-aktivis-1997-ingin-bertemu-jokowi