JAKARTA, KOMPAS.com - Tim ahli penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, ada pengembangan baru terkait penyesatan peradilan atau rekayasa kasus tindak pidana.
Harkristuti yang akrab disapa Tuti mencontohkan, penyesatan peradilan itu seperti kasus rekayasa pembunuhan berencana yang dilakukan Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
Adapun Ferdy Sambo terbukti melakukan rekayasa kasus untuk menutupi tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukannya terhadap ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat.
"Yang belum sempat disampaikan adalah tindak pidana baru. Yang pertama adalah penyesatan peradilan, ini kalau teman-teman di DPR bicara tentang rekayasa kasus, yang kemarin kasus Sambo itu kan," kata Tuti saat ditemui di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Kamis (4/5/2023).
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa dalam KUHP lama hal tersebut masih belum diatur.
Dalam KUHP lama, hanya mengatur keterlibatan pihak lain yang turut menyembunyikan pelaku dalam melakukan tindak pidana.
Sedangkan dalam KUHP baru, setiap orang yang terlibat dalam melakukan tindak pidana bisa ikut dijerat hukum.
"Di situ kita sudah merumuskan bahwa apabila ada orang melakukan hal semacam itu maka dia bisa dikenakan pidana. (KUHP lama) sekarang enggak ada," ucapnya.
Selain itu, Tuti juga menjelaskan sejumlah keunggulan dalam KUHP baru lainnya.
Dia menjelaskan KUHP baru kini sudah membuat sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan pedoman bagaimana menjatuhkan pidana, termasuk tujuan pemidanaan.
Menurutnya, dalam KUHP lama tidak ada arahan bagi hakim terkait tujuan pemidanaan saat membuat keputusan terkait sebuah kasus.
"Nah sekarang dirumuskan di Pasal 51 ada untuk pencegahan, rehabilitasi, kemudian resolusi konflik dan penyesalan dari terdakwa," tambahnya.
Keunggulan lainnya, lanjut Tuti, di KUHP lama masih mengutamakan keadilan retributif.
Sedangkan dalam KUHP baru sudah memuat pedoman pemidanaan yang juga sudah menjadi yang lebih utilitarian.
"Utilitarian itu ada yang tadi pencegahan, ada yang bersifat pemasyarakatan, dan lain-lainnya," ucap Tuti.
Lebih lanjut, Tuti mengatakan KUHP lama juga masih sangat erat menggunakan pidana penjara, termasuk tindak pidana ringan tetap dipenjara meski hanya beberapa bulan.
Sementara dalam KUHP baru sudah mengatur alternatif lain untuk pidana ringan sehingga tidak lagi memandang penjatuhan pidana penjara yang ringan diperlukan.
"Yang kita atur adalah bagaimana mengenai strategi alternatif pidana penjara. Misalnya tidak lagi pidana penjara pendek tapi diganti dengan pidana pengawasan atau pidana kerja sosial atau pidana denda," ucap Tuti.
Kemudian, Tuti mengatakan keunggulan lainnya adalah KUHP baru mengenal adanya living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat bersumber dari realitas kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sebagai informasi, living law dapat berbentuk adat istiadat, kebiasaan, cara hidup serta pelbagai asosiasi sosial yang berkembang pada masyarakat tertentu.
Namun demikian, ia menekankan penerapan living law itu harus betul-betul dilakukan pada masyarakat yang bersangkutan dan mengikuti keputusan pemerintah setempat.
"Dan hanya bisa dilaksanakan apabila sudah ada daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Jadi bukan dari pusat," ungkpnya.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/05/11240441/tim-ahli-ungkap-kuhp-baru-atur-pidana-soal-rekayasa-kasus-seperti-di-kasus