Ia mengatakan, ada tiga perjanjian yang disepakati antara empat pihak, yaitu pemerintah RI yang diwakili Komnas HAM; Majelis Rakyat Papua; Dewan Gereja Papua; dan United Liberation Movement of West Papua (ULMWP).
Sebelum memaparkan isi MoU Jeda Kemanusiaan, Beka mengatakan, perjanjian itu dibuat sebagai upaya bersama untuk membangun kepercayaan para pihak di Papua dan Jakarta sebelum dialog damai terjadi.
"Intinya Perlu ada upaya bersama untuk membangun kepercayaan para pihak di Papua dan Jakarta sebelum dialog kemanusiaan," kata Beka saat dihubungi melalui pesan singkat, Jumat (10/2/2023).
Adapun tiga isi MoU Jeda Kemanusiaan yang disepakati pertama, jeda kemanusiaan dilakukan melalui penghentian permusuhan dan kekerasan.
"Kedua, memenuhi hak-hak para pengungsi," ujar Beka.
Ketiga, memantau kondisi para tahanan atau narapidana pada jangka waktu tertentu dan daerah tertentu.
Beka lantas membantah MoU tersebut tidak berkaitan langsung dengan pihak-pihak yang berkonflik di Papua, dalam hal ini TNI dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
"Jeda Kemanusiaan ini ditandatangani oleh Ketua Komnas HAM, ULMWP dan MRP yang kami percaya adalah aktor-aktor strategis atau kunci di Papua," katanya.
Atnike mengungkapkan, MoU lebih tepat dilakukan oleh pihak yang bertikai, bukan oleh Komnas HAM.
Selain itu, Atnike menyebut perjanjian itu dibuat tidak sesuai dengan prosedur yang ada dalam Komnas HAM.
"Proses inisiatif MoU Jeda Kemanusiaan yang dilakukan oleh Komnas HAM periode 2017-2022 tidak selaras dengan prosedur dan mekanisme pengambilan keputusan di Komnas HAM," kata Atnike, Kamis (9/2/2023).
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/10/07054321/eks-komisioner-komnas-ham-ungkap-isi-mou-jeda-kemanusiaan-papua-yang-tak