Salin Artikel

Sulitnya Hidup di Negara Para Beking

Hampir setiap urusan di republik ini selalu menyisahkan kisah tentang oknum bekingan. Di balik layar, oknum bekingan merupakan sosok superior dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

Luasnya jaringan membantu para oknum bekingan memuluskan praktik ilegal di negara yang merdeka tahun 1945.

Seperti kata Mahfud MD, praktik bekingan sudah sejak lama hidup dan kekuatan mereka sangat kuat dalam memengaruhi berbagai kebijakan, bahkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Praktik bekingan ini dimainkan dari ibu kota sampai ke daerah-daerah otonom. Jejaringnya sangat kuat, bisa melalui partai, organisasi, aparat, bahkan keluarga.

Meskipun tahu, pemerintah sulit menghapus jejaring bekingan. Sebab bisa saja dalam sudut pandang tertentu, pemerintah menggunakan para beking untuk memuluskan program Nasional.

Tidak ada perbedaan moral ketika pemerintah juga ngotot untuk merealisasikan program kerjanya.

Kalau diskusi dan dialog sudah buntu dengan masyarakat akar rumput, bisa saja para bekingan dimainkan sebagai kartu pamungkas untuk menyelesaikan masalah.

Memang tidak selalu bisa menebak pergerakan dan permainan para bekingan. Tetapi satu hal yang cukup masuk akal, yaitu setiap program pembangunan pasti menyisahkan resistensi dan cerita penindasan.

Terkadang rakyat menjadi bulan-bulanan dari kongkalikong antara negara dan para beking. Rakyat hanyalah penonton ketika transaksi ekploitasi dimainkan di meja pemangku kepentingan (stakeholders).

Tentu saja kita tahu bahwa negara memiliki berbagai sumber untuk melakukan intervensi. Bisa dengan menggunakan tokoh lokal, dana, bahkan aparat untuk menjalankan program pembangunan dan target-target kerja pemerintah.

Banyak kasus proses pembangunan di level lokal yang berakibat pada hilangnya nyawa warga negara. Ini memang perkara rumit, di satu sisi pemerintah ingin menyejahterakan masyarakat melalui proses pembangunan, tetapi di sisi lain selalu ada penolakan yang berakibat pada saling senggol antara pemerintah dan rakyat.

Pemerintah bisa menggunakan bekingan untuk memuluskan program pembangunan. Namun rakyat juga bisa menggunakan bekingan untuk menolak program pembangunan.

Apa pun itu, bekingan adalah sumber potensial untuk memotong jalur birokrasi yang berbelit-belit di republik ini.

Aparat main beking-bekingan

Kasus tambang ilegal Ismail Bolong sebenarnya mengindikasikan bahwa oknum aparat memainkan perang beking-bekingan.

Dalam laporan CNBC (30 november 2022), Koordinator Naional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar menyebutkan bahwa aktivitas tambang ilegal di kalimantan Timur didukung juga oleh pemerintah dan aparat.

Ada dugaan kalau Ismail Bolong menyetor dana miliaran rupiah ke aparat Kepolisian.

Bahkan dalam salah satu komentar di Twiter, Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming menyebutkan “bekingannya ngeri” dalam soal tambang ilegal 20 titik di Kabupaten Klaten.

Artinya kita tahu bahwa kekuatan oknum tukang beking tidak main-main di negara ini. Superioritas mereka sangat masif dan bergerak layaknya gurita kekuasaan.

Pada 1988, seorang Profesor bernama Joel Midgal memperkenalkan istilah local strongmen. Istilah ini merujuk pada superioritas keluarga yang menjaga eksistensinya di daerah-daerah untuk mengeksploitasi berbagai sumber daya.

Local strongmen (orang kuat lokal) biasanya tidak taat pada aturan yang dibuat pemerintah. Mereka hanya patuh pada konsep mengkapitalkan berbagai sumber daya melalui cara eksploitasi.

Tidak hanya itu, bahkan gurita orang kuat lokal masuk sampai lingkaran pemerintah dan memengaruhi arah kebijakan lokal.

Mereka bersedia menyediakan dana untuk memuluskan proyek-proyek yang notabene bertentangan dengan kebutuhan rakyat.

Tentu dalam praktiknya, local strongmen membutuhkan peranan para beking untuk menekan rakyat agar patuh. Metode intervensi dilakukan sangat variatif tergantung pada level resistensi yang dilakukan oleh rakyat.

Pada tingkat lokal, permainan bekingan melalui aparat juga cukup menarik karena memilki sumber daya yang tidak dimiliki rakyat.

Oknum aparat pada titik ini hanyalah klise dan alat bagi para pelaku pro-eksploitasi. Sulit untuk membongkar gurita bekingan, apa lagi mencoba menggangu para beking yang levelnya sudah nasional.

Memang banyak kasus terkuak, tetapi itu hanya pemain-pemain lokal yang hidup dari perintah para beking level elite.

Sisanya proyek perusakan lingkungan dan berbagai progres pembangunan tetap dilanjutkan di daerah dengan pemain-pemain lokal yang baru lagi. Siklus ini terus berjalan tanpa ada batasan dan rintangan berarti.

Meskipun regulasi secara tertulis begitu ketat, tetap akan kalah dengan kelincahan para bekingan. Bahkan institusi pelindung rakyat seperti aparat, juga terlihat terlibat dalam lingkaran gelap dan ilegal.

Sehingga dinamika resistensi di daerah sejak desentralisasi diberlakukan begitu alot. Selain itu, perputaran rupiah di daerah begitu cepat dan praktik saling sogok menjadi hal lumrah.

Tidak heran kalau stakeholders tergiur oleh berbagai tawaran rupiah dari berbagai bekingan. Sehingga para beking layaknya uang kaget yang memberi napas panjang kepada oknum lokal untuk merusak alamnya sendiri.

Otonomi menghidupkan para beking

Ketika daerah melalui otonomi memiliki peran penting untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri, maka momen ini menjadi peluang untuk dilakukannya eksploitasi.

Ketika regulasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) didelegasikan kepada daerah otonom, banyak pemda menerbitkan ratusan izin pertambangan.

Konflik dengan sendirinya datang sampai di depan pintu rumah rakyat dengan berkedok pembangunan.

Padahal ada transaksi “bawah meja” yang rakyat sendiri tidak tahu dan tidak terlibat. Tentu terjadi penolakan karena ketidaktahuan rakyat dengan proyek berkedok pembangunan itu.

Ketika resistensi dilakukan oleh rakyat, bekingan mulai diaktifkan untuk mewujudkan agenda eksploitasi. Bekingan tidak perlu dari big bos kota besar, cukup pion-pion lokal untuk mengintimidasi rakyat yang melakukan resistensi.

Bisa saja oknum aparat korup, pemerintah, atau bahkan dari keluarga sendiri yang pro-eksploitasi.

Tahun ini pemerintah melalui Perpres mengeluarkan aturan nomor 55 tahun 2022 tentang pendelegasian pemberian perizinan berusaha di bidang pertambangan.

Aturan ini mempertegas peran daerah otonom untuk memiliki kewenangan memberikan izin pertambangan. Kewenangan tersebut merupakan konsekuensi logis dari diberlakukannya desentralisasi.

Harapannya daerah bertumbuh dewasa untuk mengatur alur pertambangan agar dapat menyejahterahkan rakyat lokal. Namun harapan itu pupus di tengah jalan karena peran orang kuat lokal dan bekingannya melakukan sabotase kesejahteraan rakyat.

Regulasi yang dibuat pemerintah hanyalah pajangan untuk sekadar mengiyakan bahwa demokrasi prosedural hidup di republik ini.

Implementasinya tetap hanya dilakukan oleh oknum-oknum yang sama dan telah hidup eksis bersama sistem di negara ini.

Akhirnya otonomi hanyalah arena untuk memperkaya rekening pribadi di antara para aktor yang tidak pro-terhadap rakyat kecil.

Berbagai penindasan seperti lagu lama yang tidak pernah selesai. Kehidupan rakyat yang sehari-hari mesrah dengan alam, kemudian rusak hanya karena kerakusan beberapa oknum.

Berbagai kesepakatan pemangku kepentingan hanya berpihak pada kepentingan pribadi, rakyat hanyalah judul untuk memuluskan proposal eksploitasi besar-besaran di daerah-daerah.

Tidak pandang daerah kaya atau daerah miskin, eksploitasi tetap terjadi dengan berbagai cara. Cita-cita bangsa sejak revolusi kemerdekaan dirusak oleh mereka yang mesra dengan harta dan tahta.

https://nasional.kompas.com/read/2022/12/16/10581171/sulitnya-hidup-di-negara-para-beking

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke