JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Binsar Gultom menyebut penangkapan atau penahanan Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan hakim agung lainnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus atas perintah dari Jaksa Agung dan mendapat persetujuan presiden.
Perintah Jaksa Agung itu juga harus mendapat persetujuan presiden. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Perubahan kedua UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA).
“Status penangkapan dan penahanannya harus terlebih dahulu mendapat perintah dari Jaksa Agung dengan persetujuan Presiden,” kata Binsar saat dihubungi Kompas.com, Kamis (17/11/2022).
Adapun ketentuan penangkapan atau penahanan dalam Pasal 17 tersebut berlaku bagi Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung.
Namun demikian, Pasal tersebut juga menyatakan kewajiban mendapat perintah Jaksa Agung dan persetujuan presiden dikecualikan dalam tangkap tangan (OTT) melakukan tindak kejahatan.
Pengecualian lainnya adalah ketika berdasarkan bukti permulaan yang cukup mereka disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana mati atau tindak kejahatan terhadap keamanan negara.
“Jika hal itu belum dilaksanakan oleh KPK, maka menurut Binsar demi hukum berarti penangkapan dan penahanan tersebut menjadi cacat hukum,” ujar dosen Univeristas Sumatera Utara Medan itu.
Binsar lantas mempertanyakan langkah yang telah ditempuh KPK dalam menahan Hakim Agung Sudrajad Dimyati serta tindakan terhadap satu hakim agung berikutnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Jika mereka tidak ditahan dalam operasi tangkap tangan, kata Binsar, maka KPK harus atas perintah dari Jaksa Agung dan persetujuan presiden.
“Jika hal itu belum dilaksanakan oleh KPK, maka menurut Binsar demi hukum berarti penangkapan dan penahanan tersebut menjadi cacat hukum,” tuturnya.
Lebih lanjut, Binsar menuturkan, ketika suatu penangkapan atau penahanan dinyatakan cacat hukum, maka bisa dilakukan upaya hukum praperadilan.
“Dapat dilakukan ‘praperadilan’ tentang tidak sahnya penangkapan dan penahanan,” tutur Binsar.
Sebagaimana diketahui, KPK melakukan tangkap tangan terhadap hakim yustisial MA, Elly Tri Pangestu, sejumlah aparatur sipil negara (ASN) di MA, pengacara, dan pihak Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
Mereka diduga melakukan suap terkait pengurusan perkara kasasi Intidana di MA.
Setelah dilakukan gelar perkara, KPK kemudian mengumumkan 10 orang tersangka dalam perkara ini.
Mereka adalah Sudrajad Dimyati, panitera pengganti MA Elly Tri Pangesti, PNS kepaniteraan MA Desy Yustria dan Muhajir Habibie, serta PNS MA Albasri dan Nuryanto Akmal. Mereka ditetapkan sebagai penerima suap.
Sementara itu, tersangka pemberi suapnya adalah Yosep Parera dan Eko Suparno selaku advokat, serta Heryanto dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID).
Tidak terjaring operasi tangkap tangan, Sudrajad Dimyati kemudian mendatangi gedung Merah Putih KPK pada hari berikutnya. Setelah menjalani pemeriksaan, ia langsung ditahan.
Belakangan, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengumumkan tersangka kasus tersebut bertambah. Salah satu di antaranya merupakan Hakim Agung.
"Memang secara resmi kami belum mengumumkan siapa saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka baru dalam proses penyidikan, tapi satu di antaranya kami mengonfirmasi betul hakim agung di Mahkamah Agung," kata Ali sebagaimana disiarkan Breaking News Kompas TV, Kamis (11/11/2022).
Ali juga mengungkapkan, Hakim Agung yang ditetapkan sebagai tersangka pernah menjalani pemeriksaan di KPK.
Berdasarkan catatan Kompas.com, di antara belasan saksi yang telah dipanggil, mulai dari staf hingga Sekretaris MA Hasbi Hasan, satu-satunya Hakim Agung yang dipanggil adalah Gazalba Saleh pada 27 Oktober.
https://nasional.kompas.com/read/2022/11/17/13310771/anggota-ikahi-sebut-penangkapan-penahanan-hakim-agung-harus-atas-perintah