Salin Artikel

RKUHP, Tak Transparan dan Ketakutan Kritik Penguasa

Rancangan undang-undang ini menjadi salah satu yang menyita perhatian publik lantaran prosesnya dinilai tertutup.

Gelombang unjuk rasa pun terjadi 2019 lalu kala pemerintah dan DPR dinilai tak melibatkan partisipasi publik.

Mahasiswa, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai beberapa pasal dalam draft RKUHP itu bermasalah.

Ketidakpuasan itu memicu unjuk rasa bertajuk #ReformasiDikorupsi yang terjadi di beberapa kota seperti Jakarta, Malang, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Denpasar, Semarang, Bandung, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh dan Palu.

Bentrokan antara demonstran dan aparat pun terjadi di sejumlah wilayah. Akibatnya ratusan orang luka-luka, dan lima mahasiswa merenggang nyawa.

Pasca unjuk rasa bergelora, medio 2019, Presiden Joko Widodo meminta agar pengesahan RKUHP ditunda.

Saat ini proses pengesahan yang melibatkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Komisi III DPR masih terus berjalan.

Namun, kecemasan publik belum berakhir. Sebab, RKUHP yang tersebar adalah keluaran 2019.

Pemerintah dan DPR tak pernah terbuka menampilkan draf terbaru RKUHP yang dibahas saat ini.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyampaikan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo pada Kamis (6/9/2022).

Surat yang disampaikan melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) tersebut berisi permintaan agar pemerintah membuka draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada publik.

Alasan pemerintah

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej memaparkan beberapa alasan pemerintah belum membuka draf RKUHP.

Pertama, secara prosedur draf itu baru dapat dibuka setelah diserahkan dari pemerintah pada DPR.

“Itu sama dengan RUU TPKS (Tindak Pidana Kejahatan Seksual) minta dibuka, ‘belum, nanti sampai ke DPR. DPR terima secara resmi baru kita buka’. Begitu memang prosedurnya,” paparnya ditemui di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, 22 Juni 2022.

Kedua, banyak typo atau salah pengetikan. Kondisi itu terjadi lantaran terdapat 628 pasal dalam draf RKUHP yang saling terkait.

Tiga, pemerintah tak ingin RKUHP bernasib sama dengan UU Cipta Kerja. Di mana ada pasal yang dihapus tetapi masih ada pasal lain yang merujuk pada pasal tersebut.

Ia mengaku proses pengesahan RKUHP masih butuh waktu karena mesti dicek secara teliti.

Kekhawatiran mengkritik penguasa

Ada beberapa pasal yang diprotes oleh mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil, salah satunya adalah munculnya pasal-pasal yang dinilai berpotensi membungkam aspirasi masyarakat.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Bayu Satria Utomo menilai salah satu contohnya ada di Pasal 273 RKUHP.

Secara garis besar pasal itu menyebutkan setiap orang yang tanpa pemberitahuan pada pihak berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di tempat umum dan menimbulkan keonaran dapat dipidana 1 tahun penjara atau denda paling banyak kategori II.

“Ini tentu akan mengkriminalisasi kami yang sering turun ke jalan, yang sering berada di lapangan,” sebut Bayu dalam program YouTube Gaspol! Kompas.com, Selasa (5/7/2022).

Bayu menilai, aturan itu tak sesuai dengan semangat reformasi. Ia membandingkan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Pada UU tersebut, unjuk rasa tanpa pemberitahuan hanya dikenai ancaman pembubaran, bukan sanksi pidana.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati turut mempertanyakan alasan pemerintah tetap mengatur pasal penghinaan presiden dalam RKUHP.

Padahal dalam KUHP yang berlaku saat ini, pasal itu sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Namun dalam draf RKUHP tahun 2019, tindakan penghinaan presiden masih diatur dalam Pasal 218 RKUHP.

Meskipun terjadi perubahan delik, pada KUHP penghinaan presiden memiliki delik biasa. Artinya semua orang berhak menjadi pelapor.

Sementara Pasal 218 RKUHP bermuatan delik aduan. Maka hanya presiden dan wakil presiden saja yang memiliki hak menjadi pelapor.

Maidina berpandangan, dalam konteks hukum pidana, delik aduan disematkan pada tindak pidana yang bersifat personal atau menyerang individu.

Sementara presiden dan wakil presiden adalah jabatan publik yang mestinya tak dapat mempidanakan tindakan itu.

Maidina khawatir, jika RKUHP ini diundangkan, maka seorang presiden dapat melaporkan warga negaranya sendiri ketika merasa telah dihina.

Padahal, lanjut dia, tak ada standar yang jelas membedakan penghinaan dan kritik.

“Kondisi di mana (pelaporan) sangat bergantung pada presiden itu yang harus kita cegah. Jadi modifikasinya enggak sepadan, kepentingannya apa?,” kata dia.

Pertahankan pasal penghinaan

Tim Sosialisasi RKUHP Kemenkumham Albert Aries membeberkan alasan kenapa penyusun RKUHP masih mengatur tindak pidana penghinaan presiden.

Meskipun, secara undang-undang, presiden bukanlah lambang atau simbol negara.

Tapi dalam pandangannya, presiden adalah sosok yang mesti dijaga martabatnya ketimbang warga negara biasa.

“Tapi maksud tim perumus, simbol itu dalam konteks presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, sebagai kepala diplomat sebagai kepala tentara atau militer,” ucap Albert.

Albert menyampaikan, presiden harus dipandang sebagai the first among equal atau pihak pertama diantara pihak lain yang sederajat.

“Jadi memang tujuan dari dilindunginya harkat martabat presiden karena presiden itu sendiri sebagai orang yang secara demokratis sudah terpilih,” tuturnya.

Tapi Albert mengklaim masyarakat tak perlu khawatir sebab Pasal 218 RKUHP juga berisi ketentuan di mana penghinaan tak dapat dipidana.

“Yaitu bukan merupakan penyerangan harkat dan martabat presiden jika dilakukan untuk membela diri atau kepentingan umum,” pungkasnya.

https://nasional.kompas.com/read/2022/07/06/07400301/rkuhp-tak-transparan-dan-ketakutan-kritik-penguasa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke