JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan berkeberatan atas laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI (ORI) mengenai proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).
Adapun sikap itu disampaikan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers, Kamis (5/8/2021).
Beberapa poin sikap berkeberatan tersebut antara lain, KPK menilai Ombudsman telah melakukan pelanggaran hukum dengan memeriksa laporan yang sedang ditangani pengadilan.
Ghufron mengatakan, pokok perkara yang diperiksa Ombudsman RI merupakan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2020 yang saat ini sedang dalam proses pengujian di Mahkamah Agung (MA).
Selain itu, KPK berpandangan, para pelapor yakni perwakilan pegawai KPK, tidak memiliki hak untuk melaporkan penyelenggaraan TWK.
Peraturan alih status pegawai KPK, pelaksanaan dan penetapan hasil TWK, kata Ghufron bukan perkara pelayanan publik.
Lebih lanjut, terkait dengan kontrak backdate misalnya, menurut Ghufron, hal itu tidak memiliki konsekuensi hukum dengan keabsahan TWK dan hasilnya.
Dinilai tak berdasar
Merespons keberatan KPK atas LAHP tersebut, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai tudingan KPK itu tidak berdasar.
Bivitri mengatakan, sesuai Undang-Undang Ombudsman RI, pemeriksaan terkait tindakan malaadministrasi di kementerian atau lembaga tidak ada hubungannya dengan (MA).
“Yang dinilai MA kan norma sebuah peraturan dalam hal ini, perkom, apakah sudah sesuai dengan norma peraturan di atasnya atau tidak. Apapun hasil MA nanti, tidak ada pengaruhnya pada rekomendasi ORI, karena objek pemeriksaan dan wewenangnya memang beda,” kata Bivitri kepada Kompas.com, Jumat (6/8/2021).
“Saya rasa KPK terlalu emosional untuk menerima (LAHP Ombudsman) sehingga tidak jernih memahami hukum kita sendiri dan relasi kelembagaan,” ujar dia.
Selain itu, menurut Bivitri, keberatan yang disampaikan melalui konferensi pers merupakan cara KPK lembaga antirasuah itu membenarkan pembuktian versinya sendiri.
Menurut Bivitri, KPK berusaha merebut wacara publik dengan pernyataan-penyataan yang mengiring seakan-akan Ombudsman salah.
“KPK seakan-akan galak menunjukkan taringnya pada tempat yang salah, bukan ke koruptor tetapi ke sesama lembaga negara yang sedang berusaha mengoreksi tindakannya yang salah,” ucap Bivitri.
“Karena yang namanya konferensi pers kan memang bukan forum debat yang seimbang,” tutur dia.
Disebut antikoreksi
Tim 75 mengaku tidak terkejut atas keberatan KPK terkait LAHP Ombudsman RI mengenai malaadministrasi penyelenggaran TWK).
Tim 75 merupakan kelompok pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK untuk proses alih status menjadi ASN.
"Sikap ini, kami lihat sebagai sikap antikoreksi," kata perwakilan Tim 75 sekaligus Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, kepada Kompas.com, Jumat.
Menurut Yudi, KPK sebagai lembaga penegak hukum sudah sepatutnya taat hukum, tanpa pilih-pilih terhadap aturan mana yang harus ditaati.
Tindakan korektif dari Ombudsman, kata dia, sepatutnya dijadikan bahan KPK untuk perbaikan.
"Bukan malah menyerang pemberi rekomendasi yang mencari solusi terhadap permasalahan status 75 pegawai KPK," ucap Yudi.
"Ini sama saja KPK memilih untuk kill the messenger bukannya mengapresiasi rekomendasi Ombudsman," kata dia.
Atas keberatan tersebut, Yudi menilai pernyataan bahwa KPK memperjuangan hak dan nasib 75 pegawai hanya dalih dan retorika belaka.
Padahal, menurut dia, pimpinan KPK seharusnya menjadikan rekomendasi Ombudsman sebagai dasar memperjelas status 75 pegawai sesuai dengan Revisi UU KPK, Putusan MK, dan arahan Presiden.
"Sehingga 75 pegawai tersebut bisa segera kembali bekerja melaksanakan tupoksinya dalam memberantas korupsi di Indonesia," ujar Yudi.
Adapun penolakan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman RI mengenai TWK tersebut itu disampaikan melalui 13 poin keberatan.
Dengan penolakan itu, Surat Keputusan (SK) nomor 652 yang membebastugaskan pegawai KPK juga tidak dicabut.
"Jadi sekali lagi, urusan kami dengan pegawai KPK, termasuk juga yang dipertanyakan, pembebastugasan berdasarkan SK 652, sekali lagi, sampai saat ini, kami belum pernah mencabut," kata Ghufron.
Ghufron mengatakan, KPK akan menyampaikan surat keberatan kepada Ombudsman pada Jumat (6/8/2021).
Dengan demikan, KPK keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan oleh Ombudsman.
Secara terpisah, Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menyatakan belum menerima salinan keberatan atas keberatan KPK.
Ia mengatakan, pihaknya akan merespons keberatan KPK setelah ada surat resmi dari lembaga antirasuah tersebut.
"Ombudsman RI masih menunggu surat resmi dari KPK, belum bisa beri tanggapan," kata Najih kepada Kompas.com, Jumat.
https://nasional.kompas.com/read/2021/08/07/09370561/kpk-berkeberatan-atas-lahp-serang-balik-ombudsman-hingga-dinilai-antikoreksi