Salin Artikel

Kejanggalan Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK yang Jadi Sorotan...

JAKARTA, KOMPAS.com - Tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi polemik. Tes tersebut merupakan asesmen dalam proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021 yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri 7 Mei 2021, pegawai yang tak lolos TWK diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya pada pimpinannya masing-masing.

Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan pembebastugasan 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) dalam asesmen TWK tidak mengganggu kinerja KPK.

Kendati demikian, pembebastugasan itu dinilai tidak sejalan dengan makna alih status pegawai. Selain itu, proses hingga materi pertanyaan dalam TWK juga menjadi sorotan karena sejumlah kejanggalan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sigit Riyanto, meminta SK pimpinan KPK dibatalkan. Sigit menilai, substansi dalam SK itu telah masuk pada ranah pemberhentian pegawai yang tidak lolos TWK.

"Ini tentu bertolak belakang dengan pemaknaan alih status, melainkan sudah masuk pada ranah pemberhentian oleh pimpinan KPK," kata Sigit, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (16/5/2021).

"Sebab, 75 pegawai KPK yang disebutkan TMS (tidak memenuhi syarat) tidak dapat lagi bekerja seperti sedia kala," ucap dia.

Sigit menuturkan, secara garis besar terdapat dua isu penting dalam TWK pegawai KPK, yakni pertentangan hukum dan permasalahan etika.

Ia menjelaskan, TWK tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) maupun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 sebagai syarat alih status kepegawaian KPK.

Bahkan, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan dalam putusan uji materi UU KPK, bahwa proses alih status kepegawaian tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK.

Namun, menurut Sigit, putusan itu diabaikan oleh Pimpinan KPK dengan tetap memasukkan konsep TWK dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021.

"Tidak hanya itu, substansi TWK juga memunculkan kecurigaan kami, khususnya dalam konteks pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat menjalani wawancara," kata Sigit.

"Secara umum menurut pandangan kami apa yang ditanyakan mengandung nuansa irasional dan tidak relevan dengan isu pemberantasan korupsi," ucap dia.

Oleh sebab itu, Sigit berpendapat TWK tidak dapat dijadikan syarat untuk mengangkat pegawai KPK menjadi ASN. Menurut dia, seharusnya proses alih status berjalan tanpa seleksi tertentu.

Apalagi, kata Sigit, sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan telah memiliki rekam jejak panjang dalam upaya penindakan maupun pencegahan korupsi.

Misalnya, dalam hal masa kerja, sejumlah pegawai yang diberhentikan bahkan tercatat sudah bergabung pada 2003 atau sejak lembaga antirasuah itu berdiri.

"Sederhananya, jika wawasan kebangsaan mereka diragukan mestinya dengan sendirinya akan tercermin di dalam kinerjanya selama ini, misalnya melakukan pelanggaran etik atau tidak taat terhadap perintah UU," kata Sigit.

"Jadi, secara kasat mata terlihat bahwa ketidaklulusan mereka tidak sesuai dengan kinerja yang sudah diberikan selama ini," ujar dia.

Pada konteks lain, Sigit mengatakan, terdapat permasalahan yang tidak kalah serius dalam proses alih status kepegawaian KPK. Sebab, dari 75 pegawai yang diberhentikan, terdapat penyelidik dan penyidik.

Ia berpandangan, hal itu akan berimplikasi pada perkara yang sedang ditangani, mulai dari korupsi suap bansos di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster, pengadaan KTP elektronik, dan suap mantan sekretaris Mahkamah Agung.

"Kami menilai bukan tidak mungkin pengusutan perkara-perkara tersebut akan melambat, dan hal ini tentu merugikan rakyat selaku korban praktik korupsi dan pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini," kata Sigit.

"Semestinya setiap pihak sadar bahwa citra pemberantasan korupsi Indonesia kian menurun," ucap dia.

Sejumlah kejanggalan

Pegawai KPK Benydictus Siumlala menuturkan sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaan TWK. Ia mengaku baru diberitahu soal TWK sepekan sebelum tes dilaksanakan.

“Kurang lebih hanya satu minggu (informasi akan diselenggarakan TWK) sebelum tes dilaksanakan,” kata Benydictus dalam acara bertajuk Tinjauan Kritis Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK: Kemana Arah Bangsa Kita?, Minggu (16/5/2021).

“Memang sebelumnya ada desas-desus beredar di kantor bahwa akan ada tes, akan ada asesmen,” ucap dia.

Benydictus dan pegawai KPK lain mendapatkan surat elektronik (surel) dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk mencetak kartu tes yang telah diberi nomor dan ruangan ujian.

“Tapi kemudian e-mail itu pun ditarik kembali karena ternyata belum koordinasi dengan bagian SDM (sumber daya manusia) KPK,” ucap dia.

SDM KPK, kata dia, mengirim surel susulan yang memberi tahu pegawai untuk tidak mengisi data yang diminta oleh BKN.

Setelah ada komunikasi antara SDM KPK dengan BKN, barulah pegawai diminta mengisi surel tersebut.

Adapun dalam kartu yang dicetak pegawai tertera bahwa tes merupakan TWK. Padahal, kata Benydictus, tes yang diikuti sejumlah pegawai KPK merupakan tes indeks moderasi bernegara.

“Jadi sampai kami nge-print kartu tes pun, kita belum tau bahwa tes yang akan kita jalani adalah tes indeks moderasi bernegara sebenarnya yang biasanya dipakai oleh TNI Angkatan Darat,” ucap Benydictus.

“Kami tahunya tes kami itu tes wawasan kebangsaan,” kata dia.

Benydictus mengatakan, sejumlah pegawai KPK yang akan mengikuti TWK kemudian mencari contoh soal melalui internet.

Namun, Benydictus menuturkan, materi soal dalam tes sama sekali berbeda dengan contoh soal TWK yang telah dipelajari pegawai KPK.

“Di situ baru kita tahu bahwa tesnya indeks moderasi bernegara, sementara kalau kira googling, enggak ada contoh soal tes indeks moderasi bernegara,” ucapnya.

Benydictus mengakui pertanyaan yang telah beredar di media massa itulah yang ia dapatkan saat TWK.

“Di situlah muncul kemudian pernyataan-pernyataan yang banyak beredar di media seperti ada pernyataan kita disuruh milih setuju atau tidak setuju semua China sama saja, semua orang Jepang itu kejam," tutur dia.

"Homoseksual harus diberikan hukuman badan, membunuh demi kedaulatan negara itu diperbolehkan dan pernyataan yang lain-lain, kami diminta untuk setuju atau tidak setuju,” kata Benydictus.

Ia menambahkan, ada beberapa sub tes dalam TWK yang terdiri dari pernyataan dan sejumlah pertanyaan esai, misalnya terkait kasus Rizieq Shibab.

“Di situ muncul pertanyaan-pertanyaan seperti apa pendapat anda mengenai kasus Habib Rizieq Shibab? Apakah beliau layak dihukum karena melanggar protokol kesehatan,” ucap Benydictus.

Kemudian, ia menyebut ada pertanyaan-pertanyaan janggal yang dinilai tidak terkait dengan wawasan kebangsaan. Hal itu, menurut Benydictus, aneh dan sensitif, terutama bagi pegawai KPK yang perempuan.

“Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa belum menikah, apakah masih punya hasrat atau tidak? kok umur segini belum menikah,” ujar Benydictus.

“Muncul pertanyaan kalau diminta oleh negara bersedia enggak melepas jilbab, lalu apa pendapat kamu mengenai free-sex, dan lain-lain, yang bagi sebagian dari kami itu tidak menggambarkan wawasan kebangsaan,” kata dia.

https://nasional.kompas.com/read/2021/05/17/06273661/kejanggalan-tes-wawasan-kebangsaan-pegawai-kpk-yang-jadi-sorotan

Terkini Lainnya

Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Nasional
Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Nasional
Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Nasional
WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

Nasional
Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Nasional
Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Nasional
Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Nasional
SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke