Presiden Jokowi awalnya dengan tegas menolak mencabut UU KPK yang telah disahkan oleh pemerintah dan DPR.
Bahkan, dua kali penolakan itu terlontar.
Penolakan pertama disampaikan Jokowi langsung di Istana Kepresidenan, Senin (23/9/2019).
"Enggak ada (penerbitan Perppu KPK)," kata Jokowi.
Saat itu merupakan hari pertama aksi demonstrasi mahasiswa di beberapa titik di Indonesia, termasuk di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta.
Jokowi tak mengungkapkan secara gamblang alasannya mempertahankan UU yang dianggap banyak pihak bisa melemahkan KPK.
Kemudian, aksi mahasiswa dari Senin hingga Selasa (24/9/2019) yang berujung ricuh dan menimbulkan ratusan korban luka pun tak menggoyang keputusan Jokowi.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memastikan Jokowi tetap menolak mengeluarkan perppu. Presiden, kata Yasonna, meminta penolak UU KPK untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
"Kan sudah saya bilang, sudah Presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional. Lewat MK dong. Masa kita main paksa-paksa, sudahlah," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Yasonna menilai tak ada kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk mencabut kembali UU yang dianggap banyak pihak dapat melemahkan KPK itu.
Ia menilai demo mahasiswa yang berujung bentrokan dengan aparat di berbagai daerah juga tidak cukup untuk menjadi alasan bagi Presiden untuk merilis perppu.
"Enggak, lah. Bukan apa-apa. Jangan dibiasakan, Irman Putra Sidin (pakar hukum) juga mengatakan janganlah membiasakan cara cara begitu," ucap Yasonna.
"Berarti dengan cara itu mendeligitimasi lembaga negara. Seolah-olah enggak percaya pada MK," kata dia.
Hal itu disampaikan Jokowi usai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Dalam pertemuan yang berlangsung dua jam itu, Jokowi mengaku mendapat masukan dari para tokoh untuk menerbitkan Perppu KPK untuk menjawab tuntutan mahasiswa.
"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa perppu. Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kita putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," kata Jokowi didampingi para tokoh yang hadir.
Beberapa tokoh itu di antaranya mantan pimpinan KPK Erry Riana Hadjapamekas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, serta pakar hukum tata negara Feri Amsari dan Bivitri Susanti.
Hadir juga tokoh lain seperti Goenawan Mohamad, Butet Kartaradjasa, Franz Magnis Suseno, Christine Hakim, Quraish Shihab, dan Azyumardi Azra.
Jokowi memastikan akan mempertimbangkan masukan dari para tokoh itu.
"Akan kami kalkulasi, kami hitung, pertimbangkan, terutama dari sisi politiknya," ujar Jokowi.
Namun, Jokowi belum memberi kepastian kapan ia akan mengambil keputusan terkait penerbitan perppu ini.
"Secepat-cepatnya, dalam waktu sesingkat-singkatnya," kata dia.
Sebab, aksi unjuk rasa menolak UU KPK yang dilakukan mahasiswa di berbagai daerah sudah memunculkan kegentingan yang memaksa sebagai syarat penerbitan Perppu.
"Kan memang sudah agak genting sekarang. Itu hak subyektif Presiden, bisa juga. Tidak bisa diukur dari apa genting itu. Presiden menyatakan 'keadaan masyarakat dan negara seperti ini, saya harus ambil tindakan', itu bisa dan sudah biasa dan tidak ada dipersoalkan itu," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, selain penerbitan perppu memang masih ada dua opsi lain yang bisa diambil.
Pertama adalah dengan melakukan legislative review, yakni DPR dan pemerintah segera melakukan revisi kembali terhadap UU KPK yang baru disahkan.
Kedua adalah dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, Mahfud menyebut opsi Jokowi menerbitkan perppu paling kuat disuarakan oleh para tokoh saat pertemuan dengan Jokowi.
"Yang tadi cukup kuat disuarakan (dalam pertemuan) yaitu lebih bagus mengeluarkan perppu agar itu ditunda dulu sampai ada suasana yang baik untuk membicarakan isinya, substansinya," kata Mahfud.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/27/08174681/jokowi-yang-kini-pertimbangkan-tuntutan-untuk-cabut-uu-kpk