"Memberi uang sejumlah Rp 150 juta dan 50.000 dollar Amerika Serikat (AS) kepada Edy Nasution selaku panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan maksud berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," ujar jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdul Basir, saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (27/12/2018).
Menurut jaksa, uang tersebut diberikan agar Edy menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP).
Suap juga sebagai pelicin agar Edy menerima pendaftaran peninjauan kembali (PK) PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun sudah melewati batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
Penundaan aanmaning
Jaksa menjelaskan, pemberian uang terkait penundaan aanmaning, menyangkut pada perkara niaga antara PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) melawan PT Kwang Yang Motor Co.Ltd (PT KYMCO).
Berdasarkan putusan Singapore International Abitration Centre tertanggal 1 Juli 2013, PT MTP dinyatakan wanprestasi. Menurut jaksa, PT MTP juga diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT KYMCO sebesar 11.100.000 dollar AS.
"PT KYMCO pada tanggal 24 Desember 2013 mendaftarkan putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia," ujar jaksa.
"Mengetahui adanya panggilan aanmaning tersebut, terdakwa (Eddy) memerintahkan Wresti Kristian Hesti Susetyowati mengupayakan penundaan aanmaning," lanjut jaksa.
Tanggal 14 Desember 2015, Wresti menemui Edy di PN Jakarta Pusat dan meminta penundaan aanmaning PT MTP. Edy, kata jaksa, menyetujui permintaan itu dan meminta imbalan uang Rp 100 juta.
"Wresti Kristian Hesti Susetyowati meminta persetujuan terdakwa bahwa uang Rp 100 juta akan diminta dari Hery Soegiarto dan terdakwa menyetujuinya," ungkap jaksa.
Tanggal 17 Desember 2015, Hery menyampaikan ke Rudy Nanggulangi. Kemudian Rudy menyerahkan cek sebesar Rp 100 juta ke Hery untuk dicairkan.
Wresti menyuruh Wawan Sulistiwan mengambil uang tersebut dari Hery. Hery meneruskan uang itu ke Dody Aryanto Supeno agar diberikan ke Edy. Uang tersebut diserahkan di Hotel Akasia, Jakarta, pada 18 Desember 2016.
Pengajuan peninjauan kembali
Jaksa juga menyebutkan, pemberian uang terkait pengajuan PK perkara niaga oleh PT Across Asia Limited (PT AAL). Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit.
"Dan putusan mana telah diberitahukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada PT AAL pada tanggal 7 Agustus 2015. Atas putusan kasasi tersebut, sampai dengan batas waktu 180 hari, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)," ujar jaksa.
Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang berperkara di Hongkong, Eddy memerintahkan Wresti mengupayakan pengajuan PK di PN Jakarta Pusat.
Menurut jaksa, tanggal 16 Februari 2016, Wresti meminta Edy menerima pendaftaran PK PT AAL. Edy sempat menolak permintaan tersebut dengan alasan waktu pengajuan PK sudah melewati batas yang ditentukan.
Wresti kembali menawarkan uang kepada Edy. Atas tawaran itu, Edy meminta imbalan uang sekitar Rp 500 juta. Jaksa memaparkan, atas laporan Wresti, Eddy menyetujui pemberian uang tersebut.
"Tanggal 25 Februari 2016, Edy menyampaikan putusan kasasi kepada kuasa hukum yang baru dan dilampirkan pencabutan kuasa yang lama. Atas hal itu Agustriady memberikan uang kepada Edy sejumlah 50.000 dollar Amerika Serikat yang dibungkus dalam amplop warna coklat," kata jaksa.
Setelah melakukan pendaftaran PK, kembali disiapkan uang Rp 50 juta untuk Edy. Uang tersebut dititipkan Wresti melalui Dody. Kemudian Dody menyerahkan uang itu ke Edy pada tanggal 20 April 2016, di Hotel Akasia.
Eddy didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/27/15122881/eddy-sindoro-didakwa-suap-panitera-pn-jakpus-rp-150-juta-dan-50000-dollar-as