)JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan langkah hukum kepada mantan anggota DPR, Miryam S Haryani, dalam kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Miryam diduga memberikan keterangan tidak benar.
"Kami juga akan pertimbangkan lebih lanjut proses hukum terhadap saksi (Miryam) yang diduga memberikan keterangan tidak benar," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Febri mengatakan, majelis hakim kasus e-KTP mempersilakan KPK melakukan langkah hukum selanjutnya.
"Itu tentu akan kami pertimbangkan lebih lanjut dan kami sangat concern dengan apa yang muncul di fakta persidangan tadi," ujar Febri.
(Baca: Kasus E-KTP, Jaksa KPK Sebut Miryam S Haryani Bisa Jadi Tersangka)
Ia menyebutkan, hal ini dapat menjadi pelajaran bagi saksi lainnya untuk memberikan keterangan yang benar di persidangan.
Selain itu, Febri mengingatkan, ada ancaman pidana bagi saksi yang berbohong di pengadilan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 22 menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja atau memberikan keterangan tidak benar dikenakan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta, paling banyak Rp 600 juta.
Dalam persidangan, Miryam membantah semua keterangan yang ia sampaikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) soal pembagian uang hasil korupsi e-KTP.
(Baca: Jaksa KPK Minta Miryam S Haryani Ditahan atas Dugaan Keterangan Palsu)
Padahal, Miryam menjelaskan secara rinci pembagian uang dalam kasus e-KTP.
Menurut dia, sebenarnya tidak pernah ada pembagian uang kepada sejumlah anggota DPR RI periode 2009-2014, sebagaimana yang dia beberkan sebelumnya kepada penyidik.
Miryam mengaku diancam oleh penyidik KPK saat melengkapi BAP.
Setelah dikonfrontasi oleh tiga penyidik KPK, Miryam tetap pada keterangannya sejak awal persidangan.