Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Populisme di Era Teknologi Informasi

Kompas.com - 20/03/2017, 18:20 WIB

oleh:Yuddy Chrisnandi

Ketika 45 tahun lalu Alfin Toffler menerbitkan karyanya, Future Shock (1970), banyak orang tersentak dan tersadarkan: bahwa kita sebenarnya sedang menjalani perubahan besar, perubahan yang ditarik oleh lokomotif kemajuan high technology.

Faktanya saat ini kita sedang menjalani perubahan itu bersama gelombang revolusi ketiga umat manusia, yaitu terciptanya masyarakat informasi. Setiap gelombang peradaban manusia akan menghapus tren gelombang sebelumnya. Contohnya revolusi industri yang berlangsung 300-an tahun yang menghapus era ribuan tahun masyarakat agraris, demikian pula tren industrialisasi akan digantikan era masyarakat informasi. Setiap gelombang peradaban akan berpengaruh besar pada struktur maupun tatanan masyarakat, termasuk tatanan politik.

Semakin global

Hari ini kita menyaksikan dunia semakin mengglobal, bahkan dunia dan informasi di dalamnya dapat kita akses melalui gadget di tangan kita. Teknologi juga telah menyeimbangkan informasi antarkomunal dalam masyarakat.

Era sebelumnya dikenal dengan asymmetric information karena info hanya bisa diakses kalangan tertentu. Namun, di era borderless media dengan teknologi seperti sekarang, semua info dapat dengan mudah tersebar. Semua orang bisa mengakses informasi, dan media informasi (termasuk media sosial) saat ini berperan penting sebagai to lead public perception.

Demikian pula dengan apa yang kita lihat pada fenomena kepemimpinan politik global, sebagian menemukan penjelasannya juga pada kemampuan mereka mengapitalisasi keterbukaan informasi demi mendukung posisi politik mereka. Kemudian, tesis ini diperkuat ketika variabel yang lain hadir melengkapinya, yaitu kebangkitan kelas menengah, kelas yang dikenal sebagai motor perubahan.

Saya menduga peristiwa kemenangan Donald Trump, Rodrigo Duterte, dicalonkannya Francois Fillon sebagai presiden Perancis dari kubu konservatif Partai Republik, serta keluarnya Inggris dari Uni Eropa adalah tanda-tanda keinginan masyarakat untuk keluar dari kemapanan demi suatu perubahan. Mungkin bagi banyak orang ini adalah anomali, siapa yang menduga Trump yang kata-katanya rasis dan menimbulkan banyak kontroversi serta Duterte yang juga sepola bisa menang? Bahkan, pengamat politik pun salah memprediksi. Mengapa demikian?

Hal ini karena mulai berubahnya struktur sosial masyarakat di semua negara yang mendorong munculnya kelas menengah baru. Tahun 1970 dari penduduk Bumi sekitar 3,6 miliar orang, 30 persen kelas menengah dan 60 persen lainnya kelompok miskin. Saat ini jumlah penduduk Bumi 7,2 miliar orang, dengan jumlah kelas menengah meningkat mencapai 60 persen dan kelompok miskin turun jadi 30 persen. Karena itu, keterbukaan informasi dan kebangkitan kelas menengah penting untuk kita catat.Apa dampaknya terhadap politik dan pemerintahan?

Pertama, masyarakat akan lebih mudah dipengaruhi isu positioning. Kelas menengah ini kelompok rawan. Mereka otonom, mandiri, tidak bisa dikendalikan oleh penguasa, sangat kritis, bahkan memiliki kecenderungan sebagai leader gerakan massa. Fenomena gerakan sosial di banyak negara telah membuktikannya. Demikian juga kita di Indonesia dalam tiga kali gelombang perubahan (1945, 1966, dan 1998). Kelas menengah selalu merasa insecure sehingga sangat mudah diprovokasi, diarahkan, dan diajak melakukan gerakan sosial.

Lihat yang terjadi di Korea Selatan saat protes meminta presiden turun, gerakan perlawanan publik atas aksi makar yang dilakukan sekelompok tentara di Turki, atau di Malaysia walaupun belum masif. Saya kira tinggal menunggu momen saja gerakan bersih-bersih di Malaysia yang dikomandoi kelas menengah akan meledak. Itu semua terjadi sangat cepat karena diprovokasi melalui media sosial teknologi.

Kedua, runtuhnya basis ideologi. Kelas menengah tak memiliki bentuk ideologi communal base. Mereka hanya bersatu pada sebuah tren. Artinya trenlah yang mengeruk suara dan orang-orang yang leading dalam dunia politik yang sebelumnya telah sangat berkembang di dunia bisnis adalah orang-orang yang bisa membuat tren.

Oleh karena itu, kekuatan kapital yang berada di belakang tren amat terasa dalam menentukan pendapat publik melalui media televisi, radio, surat kabar, dan bahkan perkembangan terbaru belakangan ini yang juga terasa bagi kita di Indonesia adalah media sosial. Media sosial melalui cyber army berpotensi mengarahkan pandangan publik, dan ini mengundang bahaya apabila masyarakat terlebih kelas menengahmenerima dan ikut hanyut dalam arus informasi tanpa menyeleksinya secara kritis.

Informasi "bias"

Ketiga,karena informasi bisa diakses semua orang dengan cepat, hal ini menciptakan sebuah "bias", yaitu sebuah informasi yang tidak terverifikasi, tetapi dipercaya masyarakat. Contohnya banyak, seperti bermunculannya akun-akun anonim atau yang memakai beragam nama dengan tujuan memengaruhi wacana publik. Namun, untuk tujuan yang konstruktif dari penyebaran informasi dengan "nilai luhur", hal ini sebuah kekuatan. Mengapa demikian? Sebab, kita bisa menjual produk apa pun di masyarakat sepanjang kita dapat meyakinkan masyarakat melalui media teknologi informasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Nasional
ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

Nasional
Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Nasional
Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Nasional
Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di 'Gala Dinner' KTT WWF

Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di "Gala Dinner" KTT WWF

Nasional
ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta 'Money Politics' Dilegalkan

ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta "Money Politics" Dilegalkan

Nasional
Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum 'Gala Dinner' WWF di Bali

Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum "Gala Dinner" WWF di Bali

Nasional
Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Nasional
Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Nasional
Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nasional
Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Nasional
UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

Nasional
Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Nasional
MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

Nasional
Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com