JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyatakan alasan DPP Golkar mengembalikan Setya Novanto ke posisi Ketua DPR untuk memperbaiki citranya terkait kasus "Papa Minta Saham" dinilai lemah.
Menurut Doli, meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan rekaman pembicaraan Novanto dengan Bos Freeport McMoran James Robert Moffett tidak sah secara hukum, tak serta merta menghilangkan pelanggaran etika yang telah dilakukan.
"Putusan MK itu kan untuk aspek hukum, tapi tidak otomatis menggugurkan pelanggaran etika yang telah dilakukan," kata Doli dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (27/11/2016).
Apalagi, Doli mengatakan, seluruh fraksi saat itu termasuk Golkar, menilai Novanto telah melakukan pelanggaran berat karena mencatut nama Presiden Jokowi. Karena itu, Doli mengatakan, seluruh fraksi di DPR menyarankan agar Novanto mengundurkan diri dari kursi Ketua DPR di saat situasi tengah memanas.
"Jadi kita tidak bisa melepaskan Novanto dari aspek etika yang telah dilanggar oleh dia sebagai Ketua DPR. Jadi alasan DPP Golkar mengembalikan Novanto ke Kursi Ketua DPR itu lemah dan tidak relevan," ujar Doli.
Rapat pleno DPP Partai Golkar yang memutuskan Novanto kembali menjadi Ketua DPR dilakukan pada Senin (21/11/2016) kemarin. Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan ini diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto. Adapun Novanto mundur dari kursi ketua DPR pada Desember 2015 lalu karena tersangkut kasus "Papa Minta Saham".
Novanto dituding mencatut nama Jokowi untuk meminta saham kepada PT Freeport Indonesia.