JAKARTA, KOMPAS.com - Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) akan kembali melancarkan aksi damai tahap III pada 2 Desember mendatang.
Mereka akan melakukan aksi damai karena Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hingga kini belum ditahan pasca-ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama.
Aksi damai tersebut akan dilakukan dengan shalat Jumat bersama dengan posisi imam berada di Bundaran Hotel Indonesia. Sebelum shalat Jumat, akan dilakukan doa bersama sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin.
Melihat rencana tersebut, Ketua Setara Institute, Hendardi menilai rencana aksi di Bundaran HI dan sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin itu keluar dari substansi demonstrasi.
Sebab, aksi tersebut telah melanggar aturan yang berlaku mengenai demonstrasi jika benar-benar dilakukan.
"Rencana di jalan protokol Jakarta pada 2 Desember 2016 adalah bentuk demontrasi yang merupakan pelanggaran hukum jika benar dilaksanakan," ujar Hendardi dalam rilis pers, Selasa (22/11/2016).
Hendardi mengatakan, demonstrasi boleh saja dilakukan karena mendapat jaminan dalam hukum HAM dan dalam Konstitusi RI. Kendati demikian, aksi tersebut haruslah mengikuti aturan yang berlaku dan melalui cara-cara yang benar.
"Aksi demonstrasi harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh demokrasi itu sendiri dan tidak melanggar hukum," kata Hendardi.
Selain itu, Hendardi menilai tuntutan demonstrasi mendesak penangkapan dan penahanan Ahok yang telah ditetapkan sebagai tersangka tidak lagi relevan. Menurut, Hendardi, proses hukum yang dilakukan Polri tidak bisa diintervensi pihak lain.
Penekanan itu, tambah dia, justru akan membuat Polri menjadi tidak independen.
"Tidak bisa proses peradilan ditekan sedemikian rupa sehingga penegak hukum tidak bekerja independen," ucap Hendardi.
Hendardi menuturkan, upaya penekanan terhadap proses hukum melakui aksi massa justru tindakan anti demokrasi.
"Trial by mob adalah bentuk tindakan antidemokrasi," kata Hendardi.