JAKARTA, KOMPAS.com -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo membenarkan bahwa pihaknya mulai menyelidiki perkara dugaan korupsi dalam proyek pembangkit listrik pada era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono.
"(Kasus) listrik sudah dapat laporannya. Nanti kami akan bekerja sama dengan BPKP dan BPK untuk segera menelusuri itu," ujar Agus di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta pada Selasa (22/11/2016).
Meski demikian, perkara itu masih berstatus pengumpulan bahan keterangan, belum masuk ke tahap penyelidikan.
Agus mengatakan, laporan tersebut telah dicocokkan dengan informasi yang telah dimiliki KPK sebelumnya. Namun, Agus menolak membeberkan hasilnya.
Ia meminta publik bersabar menunggu tahapan penelusuran itu.
"Mudah-mudahan nanti ada (hasil)," ujar Agus.
(Baca juga: KPK Terima Laporan 34 Proyek Pembangkit Listrik Mangkrak Pekan Lalu)
Proyek yang diduga merugikan keuangan negara itu adalah proyek pengadaan 7.000 megawatt yang didasari Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010.
"PLN ditugaskan sekitar 7.000 megawatt listrik. Tapi sampai hari ini proyek itu tidak terselesaikan," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Jumat (4/11/2016).
(Baca: Melapor ke Jokowi, Pramono Sebut 34 Proyek Mangkrak Era SBY Rugikan Negara Triliunan Rupiah)
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), lanjut Pramono, juga menemukan adanya uang negara keluar untuk pembayaran 34 proyek dari 7.000 megawatt itu, yakni sebanyak Rp 4,94 triliun.
"Dari 34 proyek tersebut, ada 12 proyek yang dapat dipastikan tidak dapat dilanjutkan sehingga terdapat potensi kerugian negara yang cukup besar dari nilai kontrak sebesar Rp 3,76 triliun," ujar Pramono.
Pramono enggan menyebut berapa kerugian negara dari mangkraknya 12 proyek di era SBY itu. Ia mengatakan, hal itu merupakan wewenang BPKP.
(Baca juga: 34 Proyek Pembangkit Listrik Mangkrak, Jokowi Ancam Lapor KPK)
Selain itu, sebanyak 22 proyek listrik sisanya, dilaporkan bisa dilanjutkan. Namun, kelanjutan 22 proyek itu membutuhkan tambahan biaya baru sebesar Rp 4,68 hingga Rp 7,25 triliun.
"Penambahan biaya baru ini cukup besar sehingga kami laporkan ke Presiden, mohon arahan Presiden agar bisa menindaklanjuti temuan BPKP ini dan tidak menjadi masalah di kemudian hari," ujar Pramono.