Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontras Temukan Sejumlah Kejanggalan dalam Sidang Etik Terkait Kematian Siyono

Kompas.com - 16/05/2016, 18:15 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, mekanisme sidang etik terhadap anggota Densus 88 atas kasus kematian Siyono tidak menyelesaikan dugaan penyiksaan yang terjadi.

Staf Divisi Hak Sipil Politik Kontras, Satrio Wirataru mengatakan, sejak awal ada beberapa kejanggalan yang ditemukan oleh Kontras dari sidang kode etik.

Selain itu, hingga saat ini, Majelis Etik Polri juga tidak memberikan alasan atas vonis yang dijatuhkan.

"Kami tidak kaget karena dari awal ada kejanggalan. Sampai sekarang pun tidak ada alasan dari Majelis Etik atas vonis tersebut," ujar Satrio, saat memberikan keterangan pers di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Senin (16/5/2016).

Lebih jauh, Satrio menjelaskan, ada beberapa indikasi yang menunjukkan sidang kode etik tidak bisa menyelesaikan kasus dugaan penyiksaan terhadap Siyono.

Pertama, sidang etik kasus Siyono dilakukan secara tertutup. Menurut Satrio, keputusan Majelis Etik yang menyatakan bahwa sidang etik kasus Siyono tidak dibuka kepada publik dengan alasan keamanan anggota Densus 88 adalah alasan yang berlebihan.

Sidang kode etik yang dilakukan secara tertutup justru melanggar prinsip akuntabilitas, kesamaan hak, kepastian hukum, keadilan dan transparansi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Kapolri No 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri.

"Bila menyangkut soal keamanan, Anggota Densus kan dapat disamarkan identitasnya dan memakai topeng penutup wajah saat di persidangan," ujar dia.

Kedua, mekanisme etik Polri dinilai tidak mampu memberikan sanksi yang adil.

Sanksi demosi dan permintaan maaf kepada atasan pelaku serta institusi Polri dianggap tidak adil jika dibandingkan dengan perbuatan dua anggota Densus 88 yang menyebabkan tewasnya Siyono.

Menurut Satrio, sidang etik tidak adil karena hanya mengkaji adanya pelanggaran prosedur. Sanksi terberat yang dapat diberikan, yakni pemberhentian dengan tidak hormat.

Sanksi ini pun dapat diberikan jika terlebih dulu dilakukan proses pidana terhadap anggota Densus 88.

Ketiga, mekanisme etik Polri tidak mampu memenuhi hak saksi dan korban. Pasalnya, Majelis Etik melarang ayah Siyono, Marso Diyono, untuk didampingi kuasa hukum saat akan memberikan kesaksian.

Satrio mengatakan, saksi memiliki hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapatkan informasi kasus dan putusan pengadilan maupun nasehat hukum sebagaimana diatur dalam UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

"Dalam sidang kode etik tentu tidak bisa dibenarkan," kata Satrio.

Oleh karena itu, dia berharap proses hukum secara pidana tetap dilakukan untuk menjamin rasa keadilan, pemberian sanksi yang adil dan pemenuhan hak-hak bagi korban maupun keluarga korban.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com