Problem identitas
Indonesia pada dekade pertama abad ke-21 sempat menikmati periode singkat yang penuh euforia dan optimisme. Runtuhnya otoritarian, kala itu dibayangkan akan memungkinkan hadirnya demokrasi yang penuh kebebasan dan diiringi pembagian kue kemakmuran yang merata.
Namun, periode euforia itu dengan segera diikuti kekecewaan, kebingungan arah, dan keputusasaan. Identitas tiba-tiba menjadi begitu penting sebagai tempat persembunyian yang nyaman untuk sementara waktu.
Frustasi sosial-ekonomi masyarakat, berkembangnya politisi pemburu rente, situasi global yang timpang dan hegemonik, rezim elektoral yang lemah, adalah sederet penyubur wabah gerakan kembali ke identitas itu
Dalam bukunya berjudul Identity and Violence: The Illusions of Destiny, Amartya Sen mengatakan, solidaritas dan simptom kebebasan sebagai buah demokratisasi melahirkan komunitas-komunitas terintegrasi dan eksklusif sebagai respons dari lingkungan sosial politik yang berubah cepat, sehingga perilaku demokratis seringkali bersinggungan dengan perilaku bermusuhan.
Permusuhan yang timbul dari sikap eksklusif bisa berjalan bergandengan tangan dengan manfaat yang timbul dari sikap eksklusif itu.
Kecenderungan ini membangun solidaritas kuat pada satu kelompok berbasis aliran atau identitas tertentu, namun pada saat yang sama upaya menguatkan solidaritas dan pematuhan terhadap nilai-nilai internal itu dilakukan dengan cara memusuhi dan bertindak kasar terhadap kelompok lain.
Penggalangan secara agresif identitas orang Islam Sudan, seiring dengan penerapan pemisahan rasial oleh pemerintah militer yang beringas, telah membuahkan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap pihak korban yang kalah di selatan negeri itu.
Situasi tersebut hampir serupa meski dalam skala yang lebih kecil, dengan apa yang terjadi di Indonesia belakangan. Di mana, kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah menjadi pemicu banyaknya aksi penyegelan tempat ibadah milik kaum minoritas pada suatu wilayah oleh mayoritas.
Atau misalnya, perda-perda berdimensi agama di daerah pada akhirnya acapkali memicu tindak kekerasan dan sikap intoleran antaragama, bahkan, intraagama.