JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara DPP Partai Demokrat Andi Nurpati menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan calon tunggal mengikuti pemilihan kepala daerah serentak masih menyisakan celah persoalan.
Di antaranya adalah potensi banyaknya masyarakat yang memilih golput dan pemborosan anggaran jika pemilihan tetap diundur karena mayoritas pemilih tidak memilih calon tunggal yang ada.
Andi menjelaskan, angka golput di daerah dengan satu calon kepala daerah bisa tinggi lantaran masyarakat merasa tidak memiliki calon yang akan didukung atau dipilih. Ia mendorong dibuat aturan lebih rinci sebagai solusi jika di daerah tersebut lebih didominasi masyarakat yang tidak memilih (golput).
"Perlu diantisipasi ada golput karena pemilih merasa tidak punya calon. Bagaimana kalau golput sampai 50 persen," kata Andi saat dihubungi, Rabu (30/9/2015).
Mengenai efisiensi anggaran, kata Andi, persoalan muncul karena putusan MK menetapkan norma pemilihan dengan kotak "setuju" dan "tidak setuju". Masalah akan muncul ketika mayoritas pemilih menyatakan tidak setuju pada calon tunggal sehingga pelaksanaan pemilihan akan kembali digelar pada Pilkada serentak selanjutnya.
"Ini implikasinya tidak efisien anggaran. Padahal salah satu tujuan pilkada serentak adalah efisiensi anggaran," kata mantan Komisioner KPU itu.
Namun secara umum, Andi mengakui bahwa Partai Demokrat menghormati putusan MK tersebut. Ia berharap Komisi II DPR RI segera menggelar rapat dengan penyelenggara pemilu dan Menteri Dalam Negeri untuk merumuskan tindak lanjut pilkada serentak dengan calon tunggal.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi soal calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. MK memperbolehkan daerah dengan calon tunggal untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak periode pertama pada Desember 2015.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis.
Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasan tertinggi di tangan rakyat.
Selain itu, MK menimbang perumusan norma UU Nomor 8 tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan kekosongan hukum. Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada.
Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih. MK juga mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom "setuju" dan "tidak setuju".
Apabila yang memilih kolom "setuju" lebih banyak, maka calon tunggal itu ditetapkan sebagai kepala daerah. Tetapi, jika lebih banyak yang memilih "tidak setuju", maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda hingga pilkada pada periode selanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.