JAKARTA, KOMPAS - Diskursus dan tarik ulur penganggaran dana aspirasi oleh DPR dengan kisaran jumlah anggaran Rp 11,2 triliun, akumulasi dari jumlah alokasi anggaran untuk tiap anggota DPR Rp 15 miliar-20 miliar per tahun, memperlihatkan adanya sejumlah paradoks dalam kebijakan penganggaran. Dana aspirasi telah mengubah konsep pemisahan kekuasaan (trias pliotica).
Paradoks pertama terlihat dari landasan hukum tak memadai dalam usulan dana aspirasi. Kebijakan dana aspirasi akan menabrak sistem perencanaan pembangunan nasional dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 yang mewajibkan mekanisme penganggaran harus melewati mekanisme perencanaan secara bottom up melalui musyawarah perencanaan pembangunan sejak dari desa, daerah (kabupaten/kota dan provinsi) yang berpuncak pada kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Teknis/Sektoral.
Alasan sebagian anggota DPR bahwa dana aspirasi memiliki landasan hukum adalah anggota DPR harus memperjuangkan kepentingan daerah pemilihan masing-masing sebagaimana diatur dalam UU No 17/2014 tentang MD3, jelas telah menginterpretasikan UU secara salah.
Interpretasi atas perjuangan dapil dalam UU MD3 harus dikembalikan kepada tiga fungsi DPR di ranah legislasi, penganggaran, dan pengawasan, yang tentunya salah jika diartikan bahwa untuk setiap anggota DPRD harus disediakan plafon khusus dalam APBN untuk bisa menginstruksikan eksekutif agar melaksanakan program tertentu dengan komando anggota legislatif atas nama perjuangan dapil.
Di titik tersebut interpretasi secara salah mengenai kewenangan anggota legislatif itu sekaligus bisa menabrak dua kewenangan organ negara lain, yaitu eksekutif dan DPD.Kewenangan eksekutif ditabrak karena anggota DPR seolah-olah atas nama perjuangan dapil bisa mengintervensi program/kegiatan pemerintah/pemda yang sudah ditetapkan melalui mekanisme musrenbang.
Pergeseran pemerintahan
Di sinilah sejatinya telah terjadi pergeseran teori trias politica dengan terjadinya pemerintahan oleh parlemen (governing by parliament) yang mengubah konstelasi ketatanegaraan pengawas politik menjadi pemain. Hal ini bisa mengacaukan struktur ketatanegaraan dan sistem pengawasan terhadap pemerintah yang membuka celah terjadinya kolusi serta banalisasi korupsi berjemaah karena sang pengawas (baca legislatif) melebur dengan yang diawasi (baca eksekutif).
Kebijakan penganggaran dana aspirasi dengan mengatasnamakan dapil juga bisa mengacaukan konsep pembagian kekuasaan di tubuh MPR, antara DPR dan DPD. DPR telah menggerogoti wilayah kewenangan DPD dengan menembus batas yurisdiksi kekuasaan yang semestinya menjadi arena perwakilan DPD.