"Yang sangat melukai perasaan adalah pembahasan ini kesannya karena ada sponsor koruptor. Waduh, kalau seandainya itu benar, tak usah melalui proses hukum, ada data saja, saya akan meletakkan jabatan hari ini juga," ujar Amir, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (27/2/2014).
Menurut Amir, polemik RUU KUHP/KUHAP sudah berkembang terlalu liar. Ia mengatakan, tak ada faktor ketergesa-gesaan dalam pembahasan kedua RUU tersebut. Pasalnya, masa kerja anggota DPR masih berjalan sampai bulan September 2014.
Sebelumnya, KPK meminta DPR dan pemerintah menarik kedua RUU itu karena pembahasan dianggap tidak akan maksimal mengingat masa kerja DPR yang singkat.
Selain itu, Amir juga mengingatkan bahwa pembahasan RUU KUHP ini sudah disusun sejak 12 tahun lalu. Bahkan, RUU KUHAP sudah dibahas 40 tahun lalu.
"Jadi jauh sebelum KPK hadir. Profesornya bahkan sudah 3 orang meninggal dunia," kata Amir.
Menurut Amir, keberatan KPK atas beberapa pasal adalah hal yang wajar. Tetapi, ia meminta KPK tidak "membunuh" 700 pasal yang ada dalam RUU itu. Ia menekankan, masih terbuka kesempatan untuk melakukan harmonisasi.
Sementara itu, terkait kewenangan khusus KPK seperti penyadapan dan penyitaan tetap akan berlaku. Oleh karena itu, Amir mengajak KPK duduk bersama dengan tim penyusun RUU KUHP/KUHAP.
Seperti diberitakan, KPK telah mengirimkan surat kepada DPR dan Presiden meminta pembahasan RUU KUHP/KUHAP dihentikan. KPK berdalih persoalan waktu yang singkat menjadi hambatan DPR menyelesaikan kedua RUU itu. Oleh karena itu, KPK meminta agar pemerintah dan DPR menarik draf kedua RUU dan memercayakan pembahasan kembali revisi undang-undang KUHP/KUHAP kepada DPR periode 2014-2019.
Selain itu, KPK juga keberatan substansi dari RUU KUHP yang masih memuat tindak pidana kejahatan luar biasa. Padahal, jenis tindak pidana itu sudah diatur dalam undang-undang tersendiri. Pemerintah sudah menegaskan tidak akan menarik draf RUU KUHAP/KUHP.