Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Djaduk Ferianto: Tradisi Tidak Mandek!

Kompas.com - 24/10/2013, 19:47 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Perawakannya tinggi besar, dengan misai dan cambang di wajahnya. Bima, barangkali tokoh yang tepat untuk menggambarkan sosoknya, juga karakternya. Sebab, dia pun seperti Bima yang bicara apa adanya dan suka melabrak ketidakadilan. Misalnya, saat para pemain gamelan
yang dibawanya ke sebuah acara manggung dengan para pemain musik diatonis. Maka hal pertama yang ditanyakan Djaduk kepada penyelenggara adalah, berapa honor yang diterima oleh para pengrawit. "Mereka harus menerima honor yang sama dengan para pemain orkes. Kalau tidak sama, ya lebih baik nggak ussh main."

Hal kedua, panitia harus memperlakukan para pemain gamelan sama dengan para pemain orkes. "Kalau pemain orkes check sound, para penggamel juga punya hak yang sama untuk check sound."

Menurut Djaduk, yang dilakukannya itu adalah hal yang wajar saja, agar seniman tradisional diperlakukan secara adil.

Ditemui di studionya di Desa Kasihan Bantul, Djaduk hangat menyambut tetamunya. Tanpa ditanya, dia mulai bercerita bahwa Padepokan Tari Bagong Kusudiardjo yang ditinggalkan ayahnya, sekarang sudah berganti fungsi, tidak hanya untuk latihan menari, tapi justru untuk
berbagai kegiatan yang bermuara pada budaya dan kemanusiaan. Itulah sebabnya,  di salah satu ruangan yang ada di tempat tersebut, dipergunakan untuk workshop dari berbagai instansi maupun institusi yang berharap dapat discharge kembali sehingga bisa lebih terbuka pikiran dan hatinya untuk menyadari kemampuan dan kelebihannya sebagai manusia.

Seperti tempat yang diwariskan oleh sang ayah, Bagong Koesoediardjo, yang kini telah meluas fungsinya, Djaduk pun menganggap dirinya sebagai seniman yang multidimensi. Dia bukan hanya berkutat dengan urusan musik saja, melainkan juga berurusan dengan penyutradaraan,
keaktoran, pendidikan, dan lain-lain.

Saat ditanya, termasuk jenis seniman apakah dirinya, Djaduk menjawab, bahwa dia lebih bangga menyebut dirinya sebagai pekerja seni. “Kalau kita ngomong seniman bukankah lebih baik sesuai bahasa internasional menyebut sebagai artist ya? Sementara di Indonesia artis itu kan bisa dikategorikan selebritis yang masuk infotainment itu lho. Kalo seniman di kalangan masyarakat Indonesia itu masih orang yang dianggap orangnya itu 'seenaknya sendiri'..tidak dianggap, tapi kalau sesungguhnya esensinya dia itu sebagai pekerja, maka saya lebih seneng menyebut diri saya sebagai pekerja seni.

Menurut Djaduk, sebagai pekerja seni orientasinya tidak hanya terpaku pada satu seni saja. Sebab menurutnya, seni itu saling terkait dengan faktor lainnya. Djaduk pun mnyebut profesi dalang sebagai contoh. Dalang itu menguasai sastra, menguasai teater, menguasai seni rupa dan manajemen pertunjukan. Demikian juga petani,  juga sangat multi. Petani tahu tentang waktu, menghitung waktu., dia tahu bagaimana berhubungan dengan alam, dia tahu tentang perekonomian, dia tahu apa yang baru laku.

“Justru kalau kita sekarang bicara tentang kearifan lokal, dulu leluhur kita sudah mengajarkan begitu. Ini pekerjaan seni, maka kami menjunjung tinggi apa yang pernah didapatkan oleh orang tua kami, atau mungkin kakek-kakek kami, leluhur kami, dan kami teruskan. Tetapi dengan kesadaran penuh bahwa sebagai pelaku seni..pekerja seni kami bekerja secara menyeluruh,” tutur lelaki kelahiran Yogyakarta, 19 Juli 1964 ini.

Djaduk memberi contoh konkret tentang bekerja sebagai seorang pekerja seni yang multidimensi itu. Djaduk yang awalnya sebagai penari serta pernah belajar tari jazz dan balad di Eropa, pada akhirnya harus bersinggungan dengan bidang musik sebagai pendukung tarian.

Pengaruh keluarga, terutama ayah, yang menyebabkan Djaduk mengenal seni tari, sebelum akhirnya berkenalan dengan gamelan. Nah, saat mengenal gamelan itulah, Djaduk lebih tertarik pada instrumen kendang yang menurutnya sebuah instrument yang berfungsi sebagai pengendali irama.

“Dan kaitannya antara kendang dengan dunia gamelan, dan hubungannya dengan tari ya itu kan relasinya sangat kuat. Jadi ketika saya menjadi penari, saya juga sebagai pemain kendang, itu semua hafalan ada dalam otak saya, menciptakan irama, menciptakan melodi, menciptakan dinamikanya..itu pekerjaan yang paralel. Di samping untuk tari juga untuk teater, ketoprak, teater tradisional, untuk wayang,” papar anak bungsu dari Bagong Kussudiardja, koreografer dan pelukis senior Indonesia yang telah marhum.

Seiring dengan bergulirnya waktu, semakin banyak bidang kesenian yang digeluti Djaduk. Dia pun mulai melukis, mendesain kostum pemain musiknya, kemudian membuat musik di luar tari, termasuk bersinggungan dengan budaya popular.

Djaduk menyebut, awal dirinya bersinggung dengan dunia pop diawali pada tahun 1978, saat dirinya mengikuti Lomba Musik Humor di Jakarta dengan kelompok musik yang didirikannya bernama Rheze. Kala itu pesertanya dari seluruh Indonesia, termasuk Iwan Fals. Dalam lomba tersebut Djaduk menang. "Itu generasinya Iwan Fals, kami nomor satu sedangkan Iwan Fals malah ada di bawah kami, kalau tidak salah Juara Harapan 2. Nah, dari situ lah kemudian kami
berkembang meng-compose beberapa musik sendiri pada sekitar tahun 70-an sampai 80-an. Akhirnya sampai sekarang. Jadi ruang pekerjaan saya itu, di samping musik; ada teater, menjadi koreografer, membuat desain kostum. Sementara sekolah formal saya adalah Seni Rupa. Sekarang saya menjadi penggagas sebuah event dan punya beberapa ruang di festival seperti Ngayogjazz, Jazz Gunung, kemudian ada yang berskala dunia dan punya jaringan ke internasional, tetapi semua saya meyakini basik saya adalah tradisi. Kami melihat potensi yang
luar biasa di tradisi itu, hanya memang persoalan yang muncul adalah tarik-ulur. Kami mempercayai tradisi kan selalu berkembang, jadi kami sangat membuka diri pada tradisi, karena kami juga tidak mau terkungkung dalam tradisi. Kami akhirnya bergaul dengan
tradisi-tradisi lain untuk menjawab suatu tantangan. Kami harus mengembangkan tradisi itu, yang tidak ada harus kita bangun yang baru, yang sudah tidak zamannya kita buang."

Meski telah bersinggungan dengan dunia pop dan berhubungan dengan manusia-manusia dari berbagai bangsa, Djaduk menganggap dirinya tetap menjunjung tinggi tradisi dalam pengertian tiap kaum dan zaman memiliki tradisinya masing-masing. Baginya, salah satu yang paling
menarik dari tradisi adalah “semangat”, betapa tradisi itu selalu up-to-date pada zamannya, setiap zaman semangat tradisi itu akan selalu ada dan tidak bisa hilang. “Saya sulit untuk menjelaskan ‘semangat’ itu seperti apa, tapi kami mempercayai dalam tradisi kami, semangat itu menjiwai kami..mendorong kami sebagai pelaku seni untuk memiliki bargaining position kepada tradisi yang lain. Artinya, dulu pada awalnya kami introvert, orang tradisi bertemu dengan orang pop itu kan ragu-ragu, bertemu anak-anak jazz juga ragu-ragu. Tapi lama-lama itu terbangun, dan bahwa dengan semangat tradisi ini mereka juga memilikinya. Terkadang, kami juga melihat anak-anak jazz itu sebagai anak-anak tradisi, bahkan akhir-akhir ini juga sekitar 10 tahun terakhir ini pun anak-anak yang lahir dari budaya populer itu juga sebenarnya anak-anak tradisi. Maka kami sebagai orang-orang tradisi berani mengatakan bahwa anak-anak yang lahir dalam konteks budaya populer itu juga bagian dari tradisi.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Nasional
ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

Nasional
Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Nasional
Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Nasional
Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di 'Gala Dinner' KTT WWF

Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di "Gala Dinner" KTT WWF

Nasional
ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta 'Money Politics' Dilegalkan

ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta "Money Politics" Dilegalkan

Nasional
Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum 'Gala Dinner' WWF di Bali

Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum "Gala Dinner" WWF di Bali

Nasional
Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Nasional
Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Nasional
Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nasional
Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Nasional
UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

Nasional
Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Nasional
MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

Nasional
Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com