Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Djaduk Ferianto: Tradisi Tidak Mandek!

Kompas.com - 24/10/2013, 19:47 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Perawakannya tinggi besar, dengan misai dan cambang di wajahnya. Bima, barangkali tokoh yang tepat untuk menggambarkan sosoknya, juga karakternya. Sebab, dia pun seperti Bima yang bicara apa adanya dan suka melabrak ketidakadilan. Misalnya, saat para pemain gamelan
yang dibawanya ke sebuah acara manggung dengan para pemain musik diatonis. Maka hal pertama yang ditanyakan Djaduk kepada penyelenggara adalah, berapa honor yang diterima oleh para pengrawit. "Mereka harus menerima honor yang sama dengan para pemain orkes. Kalau tidak sama, ya lebih baik nggak ussh main."

Hal kedua, panitia harus memperlakukan para pemain gamelan sama dengan para pemain orkes. "Kalau pemain orkes check sound, para penggamel juga punya hak yang sama untuk check sound."

Menurut Djaduk, yang dilakukannya itu adalah hal yang wajar saja, agar seniman tradisional diperlakukan secara adil.

Ditemui di studionya di Desa Kasihan Bantul, Djaduk hangat menyambut tetamunya. Tanpa ditanya, dia mulai bercerita bahwa Padepokan Tari Bagong Kusudiardjo yang ditinggalkan ayahnya, sekarang sudah berganti fungsi, tidak hanya untuk latihan menari, tapi justru untuk
berbagai kegiatan yang bermuara pada budaya dan kemanusiaan. Itulah sebabnya,  di salah satu ruangan yang ada di tempat tersebut, dipergunakan untuk workshop dari berbagai instansi maupun institusi yang berharap dapat discharge kembali sehingga bisa lebih terbuka pikiran dan hatinya untuk menyadari kemampuan dan kelebihannya sebagai manusia.

Seperti tempat yang diwariskan oleh sang ayah, Bagong Koesoediardjo, yang kini telah meluas fungsinya, Djaduk pun menganggap dirinya sebagai seniman yang multidimensi. Dia bukan hanya berkutat dengan urusan musik saja, melainkan juga berurusan dengan penyutradaraan,
keaktoran, pendidikan, dan lain-lain.

Saat ditanya, termasuk jenis seniman apakah dirinya, Djaduk menjawab, bahwa dia lebih bangga menyebut dirinya sebagai pekerja seni. “Kalau kita ngomong seniman bukankah lebih baik sesuai bahasa internasional menyebut sebagai artist ya? Sementara di Indonesia artis itu kan bisa dikategorikan selebritis yang masuk infotainment itu lho. Kalo seniman di kalangan masyarakat Indonesia itu masih orang yang dianggap orangnya itu 'seenaknya sendiri'..tidak dianggap, tapi kalau sesungguhnya esensinya dia itu sebagai pekerja, maka saya lebih seneng menyebut diri saya sebagai pekerja seni.

Menurut Djaduk, sebagai pekerja seni orientasinya tidak hanya terpaku pada satu seni saja. Sebab menurutnya, seni itu saling terkait dengan faktor lainnya. Djaduk pun mnyebut profesi dalang sebagai contoh. Dalang itu menguasai sastra, menguasai teater, menguasai seni rupa dan manajemen pertunjukan. Demikian juga petani,  juga sangat multi. Petani tahu tentang waktu, menghitung waktu., dia tahu bagaimana berhubungan dengan alam, dia tahu tentang perekonomian, dia tahu apa yang baru laku.

“Justru kalau kita sekarang bicara tentang kearifan lokal, dulu leluhur kita sudah mengajarkan begitu. Ini pekerjaan seni, maka kami menjunjung tinggi apa yang pernah didapatkan oleh orang tua kami, atau mungkin kakek-kakek kami, leluhur kami, dan kami teruskan. Tetapi dengan kesadaran penuh bahwa sebagai pelaku seni..pekerja seni kami bekerja secara menyeluruh,” tutur lelaki kelahiran Yogyakarta, 19 Juli 1964 ini.

Djaduk memberi contoh konkret tentang bekerja sebagai seorang pekerja seni yang multidimensi itu. Djaduk yang awalnya sebagai penari serta pernah belajar tari jazz dan balad di Eropa, pada akhirnya harus bersinggungan dengan bidang musik sebagai pendukung tarian.

Pengaruh keluarga, terutama ayah, yang menyebabkan Djaduk mengenal seni tari, sebelum akhirnya berkenalan dengan gamelan. Nah, saat mengenal gamelan itulah, Djaduk lebih tertarik pada instrumen kendang yang menurutnya sebuah instrument yang berfungsi sebagai pengendali irama.

“Dan kaitannya antara kendang dengan dunia gamelan, dan hubungannya dengan tari ya itu kan relasinya sangat kuat. Jadi ketika saya menjadi penari, saya juga sebagai pemain kendang, itu semua hafalan ada dalam otak saya, menciptakan irama, menciptakan melodi, menciptakan dinamikanya..itu pekerjaan yang paralel. Di samping untuk tari juga untuk teater, ketoprak, teater tradisional, untuk wayang,” papar anak bungsu dari Bagong Kussudiardja, koreografer dan pelukis senior Indonesia yang telah marhum.

Seiring dengan bergulirnya waktu, semakin banyak bidang kesenian yang digeluti Djaduk. Dia pun mulai melukis, mendesain kostum pemain musiknya, kemudian membuat musik di luar tari, termasuk bersinggungan dengan budaya popular.

Djaduk menyebut, awal dirinya bersinggung dengan dunia pop diawali pada tahun 1978, saat dirinya mengikuti Lomba Musik Humor di Jakarta dengan kelompok musik yang didirikannya bernama Rheze. Kala itu pesertanya dari seluruh Indonesia, termasuk Iwan Fals. Dalam lomba tersebut Djaduk menang. "Itu generasinya Iwan Fals, kami nomor satu sedangkan Iwan Fals malah ada di bawah kami, kalau tidak salah Juara Harapan 2. Nah, dari situ lah kemudian kami
berkembang meng-compose beberapa musik sendiri pada sekitar tahun 70-an sampai 80-an. Akhirnya sampai sekarang. Jadi ruang pekerjaan saya itu, di samping musik; ada teater, menjadi koreografer, membuat desain kostum. Sementara sekolah formal saya adalah Seni Rupa. Sekarang saya menjadi penggagas sebuah event dan punya beberapa ruang di festival seperti Ngayogjazz, Jazz Gunung, kemudian ada yang berskala dunia dan punya jaringan ke internasional, tetapi semua saya meyakini basik saya adalah tradisi. Kami melihat potensi yang
luar biasa di tradisi itu, hanya memang persoalan yang muncul adalah tarik-ulur. Kami mempercayai tradisi kan selalu berkembang, jadi kami sangat membuka diri pada tradisi, karena kami juga tidak mau terkungkung dalam tradisi. Kami akhirnya bergaul dengan
tradisi-tradisi lain untuk menjawab suatu tantangan. Kami harus mengembangkan tradisi itu, yang tidak ada harus kita bangun yang baru, yang sudah tidak zamannya kita buang."

Meski telah bersinggungan dengan dunia pop dan berhubungan dengan manusia-manusia dari berbagai bangsa, Djaduk menganggap dirinya tetap menjunjung tinggi tradisi dalam pengertian tiap kaum dan zaman memiliki tradisinya masing-masing. Baginya, salah satu yang paling
menarik dari tradisi adalah “semangat”, betapa tradisi itu selalu up-to-date pada zamannya, setiap zaman semangat tradisi itu akan selalu ada dan tidak bisa hilang. “Saya sulit untuk menjelaskan ‘semangat’ itu seperti apa, tapi kami mempercayai dalam tradisi kami, semangat itu menjiwai kami..mendorong kami sebagai pelaku seni untuk memiliki bargaining position kepada tradisi yang lain. Artinya, dulu pada awalnya kami introvert, orang tradisi bertemu dengan orang pop itu kan ragu-ragu, bertemu anak-anak jazz juga ragu-ragu. Tapi lama-lama itu terbangun, dan bahwa dengan semangat tradisi ini mereka juga memilikinya. Terkadang, kami juga melihat anak-anak jazz itu sebagai anak-anak tradisi, bahkan akhir-akhir ini juga sekitar 10 tahun terakhir ini pun anak-anak yang lahir dari budaya populer itu juga sebenarnya anak-anak tradisi. Maka kami sebagai orang-orang tradisi berani mengatakan bahwa anak-anak yang lahir dalam konteks budaya populer itu juga bagian dari tradisi.”

Djaduk menambahkan, bahwa budaya pop itu menciptakan tradisinya sendiri. Kecurigaan seseorang yang dulu masih malu mengatakan bahwa pop culture itu bukan bagian dari tradisi itu karena berpendapat bahwa pop culture dianggap mewakili industri, padahal mereka lupa bahwa mereka sendiri juga pernah mencicipi budaya populer pada zamannya. "Saya pribadi berani mengatakan bahwa anak-anak yang lahir pada generasi ini adalah bagian dari tradisi karena mereka sedang menciptakan tradisinya. Budaya populer (pop culture) adalah bagian dari
budaya."

Djaduk pun percaya, bahwa tradisi itu sendiri terus bergerak. Dan kita seyogyanya memberikan ruang bagi anak-anak muda untuk melahirkan tradisinya sendiri. Jangan mentang-mentang kita orang tua, anak-anak muda itu harus mengikuti tradisi kita. Bukankah kita sendiri pun pernah menggugat tradisi orang tua kita? Orang tua yang mengeritik kita padahal dulu mereka pernah muda, pernah nakal, pernah kurang ajar. "Nah kan dalam 'teks buku' itu kami sudah tidak percaya lagi pada 'teks' itu karena hanya merupakan sebuah tanda catatan sebuah periode yang selalu berkembang. Kami lahir dalam budaya Jawa, Budaya Gamelan, setelah kami pelajari Gamelan yang ada saat ini itu melalui proses yang cukup lama dan selalu berubah. Pertanyaannya adalah 'Kenapa anak sekarang tidak boleh mengubah?'" tutur Djaduk.

Karena kesadaran untuk tidak terpaku pada satu tradisi itulah, ada jargon yang selalu dilawan oleh Djaduk, yaitu 'Adiluhung', "Jargon-jargon seperti itu selalu saya dobrak karena bersifat abstrak. Setiap orang mengatakan Adiluhung. Bahkan ada pernyataan yang cukup gegabah oleh orang-orang tua yang bahkan sudah memiliki gelar professor bahwa 'Anak-anak muda zaman sekarang tidak concern pada tradisi', yang disalahkan anak muda. Pernyataan seperti itu langsung saya lawan, Salah! Bapak pernah muda? Anak muda itu baru menciptakan tradisinya sendiri.”

Menurut Djaduk, kita memang harus belajar dari masa lalu, tapi kita kembangkan untuk kepentingan ke depannya. Masa lalu sebagai sebuah referensi. Oleh karena itu, Djaduk menandaskan, sudah saatnya para orang tua jangan terus-terusan bercuriga kepada anak muda dan menuduhnya bahwa anak muda selalu merusak tradisi. "Mendengar hal tersebut saya biasanya akan melawan. 'Eh, Anda juga merusak lho, Pak'. Sebagai contoh, gamelan bali yang ada sekarang itu disebut Gong Kebyar, itu baru ada sekitar tahun 50-an, sekarang berkembang ada Smaradhana dan lain-lain. Dalam Gamelan Jawa, instrumen Rebab itu kan tidak lahir dari rumpun instrumen bunyi yang dari perunggu karena dia adalah instrumen bunyi yang digesek. Kalau kita tarik sejarahnya mulai dari awal hingga mendapatkan posisi paling depan dalam
pementasan itu hanya sekitar dua abad lalu. Hal tersebut membuktikan bahwa Gamelan juga terus berkembang. Ada yang bilang bahwa, gamelan yang sekarang adalah yang paling benar, itu salah karena dalam Keraton sendiri Gamelan Majapahit ada beberapa versi, Yogya dan Solo masing-masing memilikinya. Apa yang dilakukan oleh alm. Sapto Raharjo, yaitu mengkolaborasikan gamelan dengan synthetizer itu bagian dari tradisi."

Terkadang, orang-orang tua itu melihatnya hanya berdasarkan kacamata dirinya sendiri. Padahal, ujar Djaduk, sebagai manusia pada zamannya harus terus mengisi dan mengembangkan terus, Jika tradisi ada yang hilang, menurut Djaduk tidak apa-apa, itu adalah sebuah keniscayaan. "Terkadang ada yang mengatakan bahwa, 'Nanti hilang kesenian kita yang Adiluhung', itu abstrak, yang sudah hilang ya biarkan saja. Kami percaya dalam sebuah kebudayaan itu selalu ada yang hilang dan tetap tumbuh dan berkembang, tradisi adalah bagian yang selalu berkembang. Cara kita berkomunikasi juga terus berubah, itu lah yang dikatakan bahwa cara berpikir kita seharusnya tidak one track, saya mengutip ucapan Slamet Raharjo 'kalau berbicara itu jangan one track, tetapi two track, four track, selebar mungkin'. Nah, di ranah kebudayaan memungkinkan kita untuk melebarkan cara pandang kita, pergaulan kita, sehingga tidak terperangkap dalam dunianya sehingga tidak sentimentil. Biasanya karena kemampuan intelektualnya dan referensinya kurang, yang muncul adalah perasaan sentimentil itu saja bahkan sampai sentimentil kedaerahan yang muncul. Kami orang Yogya dan lahir di Yogya, Yogya itu ada bukan karena hanya ada orang Yogya, tapi karena ada Papua, Sumatera, dan seluruh wilayah lain di Indonesia. Keistimewaan budaya Yogya juga karena kami membuka diri untuk berani dikritik dan berani untuk mengakui bahwa ada yang hilang dan terus tumbuh sebagaimana pada zamannya. Para pekerja seni saat ini dapat lebih memaksimalkan gagasan idenya yang berangkat dari semangat tradisi sehingga tidak terperangkap dalam suatu isme, bahwa anak perupa dapat pula membuat suatu koreografi, bisa membuat musik, atau teater."

Lantaran tabiat seni yang terus bergerak itulah, menurut Djaduk, sebagai pekerja seni ia harus merawat kegelisahannya untuk melahirkan gagasan-gagasan yang lebih baru, seperti yang diajarkan oleh ayahnya di padepokan bahwa “Seni adalah Media”. Manusia memiliki sensitivitas atau kepekaan-kepekaan, itulah yang harus diasah dengan semangat tradisinya. Modernitas bukanlah suatu hal yang menakutkan karena kita juga harus masuk ke sana, seperti masuk hutan belantara yang harus dinikmati.

Untuk soal ini, Djaduk merasa beruntung hidup di Yogya. Budaya di Yogya menurutnya lebih nyaman, baratnya kota ini ngerumpi beberapa meter saja sudah terdengar dan Yogya masih memungkinkan untuk membangun jaringan dengan siapa saja. "Nah, pengalaman-pengalaman ini yang membentuk pada pilihan saya ketika pada tahun 80-an dan 90-an banyak yang menawarkan Saya secara pribadi untuk tinggal di Jakarta, saya menjawab, 'Saya tidak mau tingal di Jakarta'. Kalau dihitung secara ekonomi, Saya bisa mendapat keuntungan yang banyak di Jakarta tapi Saya tidak mau dan ingin tetap tinggal di Yogya."

Terbukti kini, sebagai seorang pekerja seni, Djaduk memang sangat produktif. Dari tangannya lahir banyak karya dan juga kelompok seni. Awalnya, Djaduk membentuk kelompok bernama Kua Etnika yang basiknya adalah musik etnik. Komposisi musik pada Kua Etnika menggunakan
'Perjuangan Estetika', yang berangkat dari ranah tradisi ditambah “warna” musik lain, bersifat kontemporer. "Ini adalah suatu gagasan besar yang ideal. Lalu kami belajar dari perusahaan seperti The Coca-Cola Company, bahwa dari suatu perusahaan itu memiliki berbagai varian seperti Coca-Cola, Fanta, dan Sprite. Di perusahaan lain pun juga sama, bahkan untuk rokok dari sebuah perusahaan bisa membuat beberapa macam varian. Dari situ kami belajar bahwa untuk terus menghidupi Kua Etnika jika hanya mengandalkan terus musik etnik maka tidak akan bisa bertahan, untuk itu kita harus membentuk kelompok baru yang bisa menghidupi Kuetnika, yaitu Sinten Remen."

Dengan Orang-orang sama, Djaduk pun mendirikan Orkes Keroncong Sinten Remen. Kenapa keroncong? Karena pada saat itu sekitar tahun 83 Djaduk masih di kampus, dunia keroncong benar-benar dijauhi. Pada saat itu penikmatnya hanya dari kalangan orang-orang tua saja.  

"Saat Saya masuk ke Sekolah Seni yang sungguhan, nama kelompoknya adalah Sukarmaju, ya benar-benar tidak maju (Sukar=Sulit). Kemudian kami membeli KTB, pada perjalanan itu kemudian menentukan kami mendirikan Sinten Remen, ini merupakan sebuah kelompok yang lebih bersifat komersil. Lagu-lagu yang dibawakannya ringan, komunikatif, juga merevolusi tema-tema di dalam keroncong yang tadinya hanya bicara soal keindahan tapi kami berani bicara soal kritik sosial, musik humor untuk menghibur orang. Hingga saat ini Sinten Remen sudah memiliki 7 album kalau tidak salah. Jadi Sinten Remen mencari uang untuk bisa menghidupi Kua Etnika, orang-orangnya juga sama. Ketika kami bergaul dengan dunia broadcast, kami membentuk kelompok baru yang memiliki basic dangdut yang bernama Orkes Melayu Banter Banget."

Ekspresi Djaduk di jalur dangdut pun mendapat jalan. Pada waktu Djaduk membuat acara mingguan di RCTI berjudul "Senggal-Senggol". Dari situlah kemudian dangdut mulai ada warna etniknya, warna jazzy-nya, dan ada juga dangdut kelas kampung atau kelas gardu ronda. Kemudian berkembang hingga booming dangdut di RCTI ada acara joget, "Dua tahun kami membuat format acara itu akhirnya jadilah. Dalam dangdut pun kemudian berubah tatanan aransemennya. Waktu saya datang untuk acara Anugerah Dangdut pertama itu tidak beda seperti Kua Etnika mengiringi Dua Warna, kami bergaul di dalam pop culture itu sehingga menemukan formulanya dan kemudian berkembang ke mana-mana. Akhirnya itu lah yang membuat kami kembali pada tradisi kami dan kami kemudian mengkomunikasikannya pada orang-orang di lingkungan kami, bahwa Kami nggak boleh introvert. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah orang-orang tradisi itu kalau makan pasti bersama-sama karena
kurang PD, introvert. Contoh lain adalah saat menentukan honor, kalau saya antara pemain bass dan pemain gong mendapat honor yang sama karena memiliki peran yang sama, saya lalu menambahkan “Saya menghargai Kamu sebagai pemain Gong karena Kamu belajarnya juga lama sama seperti mereka. Nah, setelah ini Kamu juga harus menunjukkan kualitas Kamu selain permainan Kamu harus bagus, Kamu juga harus bertanggung jawab pada penampilan Kamu dalam arti intelektual Kamu juga harus berkembang”.

Meski telah memiliki nama besar di dunia kesenian, Djaduk tetaplah orang Yogyakarta yang sederhana, lengkap dengan banyolan-banyolannya. Hari-harinya dijalani dengan semangat tradisi yang terus bergerak. Dan Djaduk, sangat menikmatinya.

Filmografi

-Petualangan Sherina (2000)
-Koper (2006)
-Jagad X Code (2009)
-Cewek Saweran (2011)

Diskografi

-Orkes Sumpeg Nang Ning Nong (bersama Kua Etnika,1997)
-Ritus Swara (bersama Kua Etnika, 2000)
-Parodi Iklan (bersama Orkes Sinten Remen, 2000)
-Komedi Putar (bersama Orkes Sinten Remen, 2002)
-Janji Palsu (bersama Orkes Sinten Remen, 2003)
-Maling Budiman (bersama Orkes Sinten Remen, 2006)
-Dia Sumber Gembiraku (Lagu Rohani, 2006)
-Pata Java (bersama Kua Etnika dan Pata Master Jerman)

Penghargaan

-Pemusik Kreatif 1996 (PWI Yogyakarta)
-Piala Vidia sebagai Penata Musik Terbaik 1995 (Festival Sinetron Indonesia)
-Grand Prize 2000 (Unesco)

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com