Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/10/2013, 11:22 WIB

Oleh: Sukardi Rinakit

Hari ini, 8 Oktober 2013, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, mengadakan uji publik terhadap tujuh calon dekan. Mereka adalah Arie Setiabudi Soesilo, Bagus Aryo, Chusnul Mari’yah, Fredy BL Tobing, Jajang Gunawijaya, Pinckey Triputra, dan Zainuddin Djafar.

Dengan gelar akademis tertinggi yang disandang para kandidat, panitia seleksi yang dipimpin Ani Soetjipto sejak awal bertekad menjunjung asas imparsial, independen, dan transparan. Panitia seleksi berharap siapa pun yang terpilih nanti tidak hanya mampu memajukan dan menjaga nama baik fakultas dan universitas, tetapi juga melahirkan sarjana-sarjana yang terpelajar.

Sarjana yang terpelajar itulah salah satu kemiskinan bangsa Indonesia kini. Yang tersebar umumnya hanya sarjana pintar yang karena bukan terpelajar, mereka lemah rasa asih dan asuhnya, dangkal secara kultural, dan kurang arif. Semua itu bermuara pada berkaratnya perilaku korup di tengah masyarakat, utamanya yang dilakukan pejabat publik dan politisi. Mereka mungkin sarjana pintar, tetapi tidak terpelajar.

Pendangkalan politik

Ranah politik di Republik sekarang ini dipenuhi sarjana pintar, tetapi kurang terpelajar. Adagium ”berpolitik adalah bernegara dan bernegara adalah berkonstitusi” seakan runtuh justru oleh perilaku Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap berkenaan dengan sengketa pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Ketika saya terkejut dan heran dengan masalah itu, dari ujung telepon Emak menasihati, ”Ojo gampang kaget lan gumun (jangan mudah terkejut dan heran).”

Berbeda dengan sarjana terpelajar yang ingin meletakkan satu batu bata kebajikan untuk membangun peradaban, kaum pintar lebih berorientasi mengejar dan menumpuk kekayaan serta merengkuh kekuasaan. Gerak agresif dan manuver mereka itu membuat preferensi politik masyarakat bergeser.

KOMPAS Hasil survei Libang Kompas tentang partai politik pilihan publik

Dilihat dari perspektif budaya politik, masyarakat Indonesia masa kini mempunyai preferensi yang kuat terhadap performa figur. Ini menggeser preferensi ideologi dan partai politik yang masing-masing tumbuh pada era Orde Lama dan Orde Baru. Era Orde Lama, seperti dicatat Feith dan Castle (1970), pilihan politik warga ditentukan ketertarikan dan keterikatan ideologi. Ada nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokratis, komunisme, dan irisan dari aliran-aliran tersebut.

Pada era Orde Baru, orientasi politik masyarakat bergeser dari daya magis ideologi ke institusi (partai). Di sini, trikotomi ”santri, abangan, priayi” dari Geertz (1950) bermetamorfosis menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Pada tataran ini, gejala pragmatisme di segala bidang mulai bertunas.

Sementara pada era reformasi sampai sekarang, preferensi politik warga menjadi semakin dangkal. Mereka tidak berorientasi lagi pada daya magis ideologi ataupun keterikatan atas partai, tetapi sebatas ketertarikan terhadap figur. Performa figur tersebut semakin menghebat ketika bertemu dengan maraknya budaya pop dan desain politik demokratis yang mengharuskan pemilihan langsung.

Dengan bahasa lain, sejarah politik kita di era pascareformasi adalah sejarah tokoh, bukan sejarah partai. Tidak mengherankan ketika Megawati Soekarnoputri berkibar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memenangi Pemilu 1999. Demikian juga dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Kini Joko Widodo (Jokowi) yang otentik dan gemar blusukan menjadi magnet kuat bagi PDI-P menjelang kontestasi politik 2014.

Preferensi politik warga yang semakin dangkal tersebut membuat partai politik berada di zona nyaman. Kecuali PDI-P yang kini banyak melahirkan politisi muda yang mumpuni, partai politik lain pada umumnya cenderung mengambil jalan pintas. Mereka mengajak pengusaha, purnawirawan TNI/Polri, serta artis untuk bergabung dan menjadi calon anggota legislatif atau kepala daerah.

Bagi partai, pengusaha menjadi jawaban atas beratnya ongkos politik pemilihan langsung. Adapun purnawirawan TNI/Polri yang mempunyai pengalaman operasi intelijen dan mobilisasi massa menjadi ujung tombak ketika kontestasi politik berlangsung. Sementara artis diharapkan menjadi pendulang suara di tengah kuatnya tarikan budaya pop. Dari wilayah ini, muncul politisi mumpuni, seperti Rieke Dyah Pitaloka dan Nurul Arifin.

Langkah berani

Selain ketiga profesi tersebut, partai politik tentu saja banyak diisi para sarjana pintar. Pendangkalan preferensi politik warga dan keberadaan partai di zona nyaman akhirnya mengantarkan mereka menjadi pejabat publik. Namun, karena tidak terpelajar, perilaku politik mereka sering membuat masyarakat terkejut dan heran. Sudah di posisi puncak pun, perilaku dan omongannya tidak terjaga. Mereka juga tuli terhadap aspirasi rakyat.

Namun, di tengah dominasi perilaku politik kaum pintar yang tidak memanggul virtue (kebajikan) politik tersebut, kita dikejutkan serentetan tindakan berani dari segelintir orang terpelajar yang bernaung di KPK. Ini yang membuat optimisme publik akan masa depan Indonesia yang lebih baik tetap menyala. Seharusnya, partai politik juga berani melakukan langkah berani yang sama, yaitu membuang kader-kadernya yang korup.

Jika itu terjadi, sesuai dengan pesan Emak, tetap saja kita tidak boleh gampang kaget lan gumun.


Sukardi Rinakit, Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kontroversi Usulan Bansos untuk 'Korban' Judi Online

Kontroversi Usulan Bansos untuk "Korban" Judi Online

Nasional
Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Nasional
MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

Nasional
Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Nasional
MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

Nasional
[POPULER NASIONAL] Menkopolhukam Pimpin Satgas Judi Online | PDI-P Minta KPK 'Gentle'

[POPULER NASIONAL] Menkopolhukam Pimpin Satgas Judi Online | PDI-P Minta KPK "Gentle"

Nasional
Tanggal 18 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

Nasional
Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

Nasional
BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

Nasional
Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

Nasional
PKB Tak Resisten Jika Anies dan Kaesang Bersatu di Pilkada Jakarta

PKB Tak Resisten Jika Anies dan Kaesang Bersatu di Pilkada Jakarta

Nasional
Ditanya Soal Berpasangan dengan Kaesang, Anies: Lebih Penting Bahas Kampung Bayam

Ditanya Soal Berpasangan dengan Kaesang, Anies: Lebih Penting Bahas Kampung Bayam

Nasional
Ashabul Kahfi dan Arteria Dahlan Lakukan Klarifikasi Terkait Isu Penangkapan oleh Askar Saudi

Ashabul Kahfi dan Arteria Dahlan Lakukan Klarifikasi Terkait Isu Penangkapan oleh Askar Saudi

Nasional
Timwas Haji DPR Ingin Imigrasi Perketat Pengawasan untuk Cegah Visa Haji Ilegal

Timwas Haji DPR Ingin Imigrasi Perketat Pengawasan untuk Cegah Visa Haji Ilegal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com