Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketua Peradi: Hakim Bermasalah Bukan karena Advokat

Kompas.com - 23/08/2012, 09:48 WIB
Susana Rita

Penulis

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Denny Kailimang menegaskan, "bermasalahnya" integritas hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipkor) tidak ada hubungannya dengan latar belakang mereka yang kebanyakan berasal dari kalangan advokat. Persoalan itu murni karena rekrutmen hakim ad hoc yang kurang baik serta situasi kondisi dan lingkungan kerja yang memungkinkan terjadinya hal-hal yang cenderung menyimpang.

Hal itu diungkapkan Denny Kailimang, Rabu (22/8/2012) malam, menanggapi tertangkapnya dua hakim ad hoc tipikor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semuanya berlatar belakang advokat.

Sebelumnya, Juru Bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko juga mengungkapkan keluhannya tentang adanya hakim ad hoc tipikor yang sebelumnya berprofesi advokat yang belum juga mengubah mind set-nya terhadap perkara. Advokat sering kali melihat perkara korupsi sebagai sebuah peluang mencari keuntungan (baca uang), sedangkan tugas hakim ad hoc adalah menyelesaikan perkara korupsi.

Menurut Djoko, hal itulah yang membuat dua hakim ad hoc tersebut ngobyek perkara dengan menerima pemberian atau suap. Kekhawatiran tersebut menjadi berlebih karena sebanyak 79 persen hakim ad hoc tipikor yang ada saat ini berlatar belakang advokat dengan masa kerja 10 hingga 20 tahun.

Menurut Denny, perbaikan Pengadilan Tipikor dapat dimulai dari internal pengadilan. Misalnya dengan cara menerapkan manajemen kepemimpinan yang baik melalui contoh, khususnya terkait displin, wibawa, dan bersih. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan suasana ruang atau tempat kerja dan ruang sidang yang mengurangi terjadinya kontak dengan pihak-pihak berperkara.

"Contohnya hakim dan ruang sidang tipikor Jakarta. Jadi, jangan dikatakan karena latar belakang advokat," ungkap Denny.

Hal senada juga diungkapkan oleh Juru Bicara Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar. Menurut dia, kunci persoalan Pengadilan Tipikor sebenarnya ada pada proses rekrutmen hakim ad hoc, khususnya penelusuran rekam jejak calon. Tidak ada salahnya dengan advokat-advokat yang mendaftar menjadi hakim ad hoc, namun dengan penelusuran rekam jejak yang baik, MA akan memperoleh calon (advokat) yang berkualitas dan berintegritas.

Kajian terhadap keberadaan Pengadilan Tipikor di 33 provinsi beserta kinerjanya juga dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hasilnya, KY merekomendasikan perlunya penataan sumber daya manusia dan penataan organisasi di pengadilan tersebut.

Asep mengungkapkan, penataan SDM perlu dilakukan mengingat masih bermasalahnya integritas dan kualitas hakim ad hoc tipikor. Perlu peninjauan ulang metode rekrutmen sekaligus pelatihan terhadap hakim-hakim tersebut. Sementara itu, penataan manajemen organisasi melingkupi pembagian majelis dan perkara kepada hakim-hakim tipikor.

KY juga merekomendasikan perlunya evaluasi keberadaan Pengadilan Tipikor dengan disandingkan jumlah perkara korupsi yang ada di daerah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com