MAHKAMAH Konstitusi baru saja memutus perkara nomor 78 tahun 2023 pada Kamis (21/3). Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Haris Azhar dkk.
Salah satu gugatan yang dikabulkan berkenaan dengan pasal pidana berita bohong atau hoax.
Pasal yang dimaksud adalah dua pasal yang digabungkan oleh MK penilaian konstitusionalitasnya. Kedua pasal itu adalah Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946.
Terhadap permohonan itu, MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional. Maknanya, dua pasal tersebut tidak boleh lagi diberlakukan.
Apa alasan MK menyatakan demikian? Alasan utamanya adalah MK menafsirkan pasal itu sebagai pasal karet. MK memandang kedua pasal undang-undang peraturan hukum pidana itu memiliki bobot parameter yang tidak jelas. Parameter yang dimaksud berkenaan dengan tiga unsur essensial.
Unsur pertama adalah tafsir berita atau pemberitahuan bohong. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut unsur ini mengandung sifat ambiguitas. Sebab, menurut MK, sulit untuk mengukur kebenaran yang disampaikan oleh seseorang.
Kebenaran pada pasal itu sangat bergantung pada subjektifitas. Latar belakang seseorang sangat memengaruhi penilaiannya terhadap suatu kabar.
Misalnya, kita ambil contoh berkenaan dengan makan babi antara sudut pandang dua agama berbeda.
Menurut ajaran keagamaannya, orang Islam akan lantang mengatakan hukum haram makan babi adalah berita yang benar.
Namun, orang Kristen memandangnya berbeda. Menurut ajaran keagamaannya, makan babi bukanlah sesuatu yang haram. Sehingga, berita tentang makan babi haram adalah sesuatu yang bohong.
Unsur kedua adalah tafsir dari makna onar atau keonaran. Merujuk ke KBBI, MK menyebut kedua kata itu memiliki tiga makna. Tiga makna itu adalah kegemparan, kerusuhan, dan keributan.
Karena memiliki tiga makna dan tingkat gradasi berbeda, maka jelas unsur keonaran memiliki makna ganda.
Unsur ketiga adalah kabar tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan. Dalam menilai unsur ini, MK menyamakannya dengan unsur berita atau pemeritahuan bohong tadi. Di mana unsur ini memiliki makna ambigu dan sulit untuk diukur.
Pascadiucapkan, putusan itu disambut bahagia oleh banyak orang. Sambutan bahagia terutama saya rasakan di kalangan orang-orang yang memang dikenal kritis terhadap pemerintah.
Mereka merayakannya di media sosial masing-masing dengan caption: kita menang!