KASUS bunuh diri berturut-turut menyeruak di berbagai media dari tahun lalu. Bahkan kejadian terakhir yang menjadi headline, dilakukan oleh satu keluarga secara bersamaan lompat dari gedung tinggi.
Kondisi ini bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Kondisi ini perlu dijadikan titik tolak kebijakan pencegahan, supaya tidak menjadi beban menuju Indonesia Emas 2045.
Sebagai pijakan awal terdapat tiga catatan statistik yang bisa didalami, yaitu data lokasi kejadian, kejadian tahun terakhir, data perilaku potensi, serta profil penduduk yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Statistik bunuh diri bukan sekadar angka, karena bunuh diri telah menghantui negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Menurut catatan WHO, pada publikasi Suicide worldwide in 2019: Global Health Estimates menunjukkan 77 persen kematian akibat bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang 88 persen didominasi remaja.
Di Indonesia, ada tiga catatan penting yang layak menjadi perhatian, yaitu lokasi, korban, dan karakteristik seseorang yang ingin mengakhiri hidup.
Pertama, data Potensi Desa (Podes) memberikan gambaran pada tahun 2021 ada sebanyak 3.058 desa/kelurahan yang menjadi lokasi bunuh diri.
Lima provinsi yang menjadi lokasi bunuh diri terbanyak di Jawa Timur sebanyak 418 desa/kelurahan, Jawa Tengah 395 desa/kelurahan, Jawa Barat 222 desa/kelurahan, Sumatera Utara 207 desa/kelurahan, dan Nusa Tenggara Timur 145 desa/kelurahan. Lokasi ini termasuk upaya percobaan bunuh diri.
Kedua, data korban kejadian bunuh diri tahun 2023 yang ditangani aparat mengalami peningkatan.
Berdasarkan data Pusiknas Polri, korban bunuh diri meningkat hampir 100 persen dari 24 korban pada tahun 2022 menjadi 42 korban pada periode Januari hingga Mei 2023.
Parahnya 41 kasus bunuh diri terjadi selama masa Idul Fitri. Tak berhenti sampai di sini, hingga Oktober 2023 mencapai lebih dari 900 kasus.
Setiap Lebaran, tekanan finansial bagi perantau sangatlah tinggi. Terbukti, 77,27 persen dari jumlah total korban adalah berjenis kelamin laki-laki yang sudah bekerja.
Ketiga, potensi seseorang yang berpikir untuk bunuh diri. Data hasil survei pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014, 2017, dan 2021 tepat puncaknya kasus Covid-19.
Hasilnya, ada 0,2 persen atau lebih dari 100.000 rumah tangga yang anggotanya menyatakan sering atau sangat sering terlintas pikiran untuk mengakhiri hidup, di mana 53,40 persen di antaranya tinggal di perkotaan.
Dari sisi gejala (simtom), seseorang yang terlintas untuk mengakhiri hidup atau ingin bunuh diri memiliki tekanan mental.