JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Monitoring Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Jojo Rohi mengatakan tidak ada bukti empirik yang menunjukkan Gubernur Jakarta yang dipilih presiden mampu mengatasi banjir dan macet.
Keterlibatan pemerintah pusat dalam pemilihan gubernur alih-alih melalui mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), belum tentu mampu mengatasi berbagai permasalahan di Jakarta.
"Tidak ada bukti empirik yang membuktikan langsung kalau pembangunan akan lebih mudah, lebih lancar, bisa memotong birokrasi misalnya. Menurut saya tidak ada bukti empirik yang menunjuk kepada asumsi itu," kata Jojo Rohi kepada Kompas.com, Selasa (12/4/2023).
Baca juga: Survei Litbang Kompas: 66,1 Persen Masyarakat Tak Setuju Gubernur Jakarta Dipilih Presiden
Ia menilai, masyarakat tetap memiliki hak untuk memilih Gubernur Jakarta melalui Pilkada meski statusnya tidak lagi menjadi ibu kota negara, utamanya jika ingin melestarikan sistem demokrasi langsung.
Pengamat politik ini beranggapan, loyalitas gubernur yang ditunjuk langsung oleh Presiden akan bertumpu pada atasan yang menunjuknya. Sedangkan jika dipilih masyarakat secara langsung, loyalitas akan bertumpu pada masyarakat.
Pemilihan kepala daerah oleh rakyat, kata Jojo, akan memiliki legitimasi yang cukup kuat.
"Justru menurut saya pemilihan langsung lebih membuat kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat itu punya legitimasi yang cukup kuat, untuk mengambil kebijakan-kebijakan daripada ditunjuk oleh Presiden (yang) legitimasinya dari atas, bukan dari bawah," bebernya.
Ia menekankan, kekhususan yang akan disandang Jakarta tidak serta-merta mengubah mekanisme pemilihan gubernur.
Dia berpendapat, status ibu kota yang dicopot dari Jakarta tidak berimplikasi pada mekanisme Pilkada.
"Apa pun nanti batasan-batasan kekhususan Jakarta setelah dia tidak menjadi ibu kota, itu tentu saja tidak boleh berimplikasi pada mekanisme Pilkada, khususnya tidak boleh mengubah pemilihan langsung. Jadi menurut saya pemilihan langsung harus tetap digunakan sebagai mekanisme pemilihan kepala daerah di Jakarta," jelas Jojo.
Sebelumnya diberitakan, wacana gubernur-wakil gubernur Jakarta ditunjuk presiden berdasarkan usulan DPRD di dalam RUU DKJ yang telah ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR, menuai polemik.
Pasal 10 ayat 2 draf RUU DKJ berbunyi: "Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD."
Tujuh dari sembilan fraksi di DPR mengaku tak setuju dengan usulan tersebut. Sementara dua lainnya mengaku mengusulkan pasal itu, yakni Fraksi PPP dan Fraksi Gerindra.
Berdasarkan survei Litbang Kompas, sebanyak 66,1 persen masyarakat tidak setuju dengan usulan itu, sementara 31,3 persen masyarakat menyetujui.
Baca juga: Pengamat Ingatkan Pemilihan Gubernur Jakarta Harus lewat Pilkada meski Nanti Bukan Ibu Kota Negara
Alasan pihak yang setuju, ialah penunjukan Gubernur Jakarta oleh Presiden akan mempermudah pembangunan Jakarta karena didukung pemerintah pusat. Sebanyak 32,4 persen responden menyatakan demikian.
Lalu, 19,6 persen menyatakan lewat penunjukan langsung oleh Kepala Negara, masyarakat tidak terbelah karena Pilkada.
Kemudian, 16,5 persen responden juga menyatakan penunjukan tidak akan membuang biaya untuk Pilkada, 15,9 persen menyatakan pembangunan akan lebih berkelanjutan, dan 2,9 persen menyatakan pemerintah pusat lebih memahami keadaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.