POLITISASI agama yang dibahasakan aktivis hak asasi manusia Amerika Serikat Kauffman dan Buya Syafii Maarif sebagai politik identitas melekat dalam budaya dan perilaku politik di Indonesia.
Kondisi demikian sebagai konsekuensi atas penolakan terhadap terminologi budaya dan politik sekuler.
Ketika para elite politik maupun budayawan berkoar-koar jangan melakukan politik identitas, maka ungkapan itu sebagai pengingkaran atas kondisi faktual budaya sekuler.
Dalam bentuk penolakan pemisahan agama dan negara atau politik dan agama, para elite politik dan aparatus negara menyajikan kategori nasionalis-religius sebagai bentuk alternatif untuk menggambarkan bahwa budaya dan perilaku politik nasionalis tetap berbasis agama.
Ini sebagai barikade bahwa nasionalis tidak berkonotasi komunis dan sejenis ideologi lainnya, dan berkawan dengan Islam.
Penggunaan diksi agama dalam budaya dan perilaku politik, dalam pandangan almarhum M. Rusli Karim, dikategorikan sebagai Islam politik.
Dalam bukunya “Negara dan Peminggiran Islam Politik", kolega dan partner diskusi Buya Syafii Maarif itu menggambarkan Islam politik sebagai perilaku menggunakan agama sebagai instrumen kepentingan atau alat mencapai tujuan.
Contoh instrumentalisasi agama dalam bentuk lembaga agama dan ajaran agama menjadi alat pembenaran atau legitimasi atas langkah politik, kebijakan atau program kerja kekuasaan.
Atau agama menjadi alat mencapai tujuan meloloskan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Ekspresi Islam politik demikian bisa dibaca secara sederhana dalam berbagai kasus ketika aparatus atau pejabat negara atau politisi, calon presiden, gubernur, wali kota dan lainnya mencitrakan diri sebagai pejabat atau politisi yang religius, taat beragama, secara instan.
Dalam tahap lebih dalam, Islam politik bisa dikontekstualisasikan dengan orientasi politik dan kebijakan rezim Orde Baru. Mereka bisa bermuka dua.
Untuk alasan pluralism maupun pencegahan sikap fundamentalis, radikal, dan sejenisnya, pemerintah waktu itu melarang siswa perempuan berjilbab. Sebaliknya, saat pemerintah Soeharto memerlukan dukungan dan legitimasi Islam, larangan siswa berjilbab dianulir atau dicabut.
Bagaimana strategi elite politik dan aparatus negara melakukan instrumentalisasi agama pada masa Ramadhan? Yang paling popular adalah Safari Ramadhan para pejabat.
Para pejabat yang dilibatkan dari setingkat menteri sampai camat. Bentuknya, mereka berkunjung ke masjid-masjid. Ada pejabat yang ikut jamaah shalat Isya dilanjutkan Tarawih, ada yang datang ke lokasi safari berbarengan ibadah malam itu selesai.
Usai tarawuh, para pejabat negara menyampaikan pidato tentang program-program pembangunan dan berbagai kebijakan pemerintah. Acara ini ada yang disiarkan langsung (on air) maupun tunda (off air) di televisi pemerintah (TVRI).