JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Buruh menilai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 tentang ambang batas parlemen tidak tegas dan mengulur-ulur waktu
Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh, Said Salahuddin, menyebut bahwa sikap MK mengembalikan penghitungan ambang batas parlemen ke pembentuk undang-undang tak mencerminkan putusan sebuah lembaga peradilan yang bersifat final dan berpijak pada konstitusi.
"Kalau bicara parliamentary threshold, cuma persoalan boleh atau tidak boleh. Kalau dia bilang boleh, jangan lagi dia bilang segini ketinggian dan kerendahan," ujar Said kepada Kompas.com, Jumat (1/3/2024).
Baca juga: Sekjen PKB Nilai Putusan MK soal Ambang Batas Parlemen Ambigu
Ia mempertanyakan, bagiamana jika nanti pemerintah dan DPR sekadar menggugurkan kewajiban untuk mencari rasionalisasi suatu angka ambang batas parlemen.
Katakanlah, kata dia, ambang batas parlemen diturunkan dari 4 persen seperti saat ini menjadi 3,9 persen pada Pileg 2029.
"Kalau seperti itu, ambang batas parlemen konstitusional atau inkonstitusional?" ujar Said.
"Menurut saya ini keputusan yang tidak pantas diberikan tepukan tangan karena tetap saja tidak ajeg untuk menyatakan (ambang batas parlemen) konstitisonal atau inkonstitusional," imbuhnya.
Sejak lama, kata dia, Partai Buruh menganggap bahwa ambang batas parlemen tidak tepat dan seharusnya dihapus.
Baca juga: MK Tegaskan Pilkada 2024 Tetap November, Mahfud: Bagus, Cegah Dugaan Intervensi Jokowi
Menurut partai politik bernomor urut 6 itu, sepanjang perolehan suara suatu partai politik dapat dikonversi menjadi kursi di parlemen berdasarkan metode yang sah, maka seharusnya tidak boleh ada penghalang apapun untuk partai politik tersebut mengamankan kursinya.
Karena, jika dihalangi oleh hal semacam ambang batas parlemen, maka akan ada banyak suara sah dan aspirasi pemilih yang terbuang, padahal sebetulnya memenuhi syarat berdasarkan metode ilmiah konversi kursi.
Said memaparkan, partainya lebih setuju agar ambang batas diterapkan untuk pembentukan fraksi.
Sehingga, partai-partai dengan suara dan kursi minim tetap dapat duduk di parlemen, namun harus beraliansi dengan partai-partai senasib untuk membangun suatu fraksi.
Baca juga: MK Perintahkan Ambang Batas Parlemen 4 Persen Diubah, Pakar: Memungkinkan Dihapus
"Cukup MK mengatakan, threshold diperlukan tapi letaknya bukan pada konversi suara menjadi kursi, tapi ketika orang terpilih duduk di dewan ada pembatasan sehingga tidak mungkin 1 fraksi bisa menggagalkan satu program dengan modal hanya satu orang," jelas ahli pemilu itu.
"Yang kedua, kenapa baru diputus sekarang, padahal sidang-sidangnya sudah lama? Kenapa baru diputus setelah pemilunya usai?" lanjut Said.
Ia mempersoalkan alasan MK baru memutus perkara ini setelah Pileg 2024 beres.
"MK punya waktu yang cukup panjang untuk memutus sebelum pemungutan suara," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.