JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini berpendapat, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold memungkinkan untuk dihapus.
Peluang ini terbuka menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang memerintahkan perubahan ambang batas parlemen 4 persen.
Peniadaan parliamentary threshold, menurut Titi, dapat menjadi solusi atas banyaknya suara pemilih yang terbuang pada pemilu akibat partai politik yang dipilih tak lolos ambang batas.
“Ambang batas bisa saja dihapuskan agar sepenuhnya tidak membuat suara pemilih menjadi terbuang dan tidak dapat dikonversi menjadi kursi. Sebab, kedaulatan rakyat dan sistem pemilu proporsional menempatkan setiap suara adalah berharga," kata Titi kepada Kompas.com, Jumat (1/3/2024).
Menurut Titi, setidaknya ada dua metode yang bisa digunakan sebagai pengganti ambang batas parlemen.
Pertama, penyederhanaan besaran daerah pemilihan (dapil) dan alokasi kursi di dapil. Saat ini, pada Pemilu DPR RI 2024, total ada 84 dapil di seluruh Indonesia dengan jumlah kursi 580.
Titi mengatakan, penyederhanaan besaran dapil dapat berimbas pada penyederhanaan partai di parlemen.
Baca juga: Putusan MK soal Perubahan Ambang Batas Parlemen Dinilai Solutif untuk Cegah Suara Terbuang di Pemilu
Metode kedua, memberlakukan ambang batas pembentukan fraksi. Saat ini, setiap partai politik yang lolos ke parlemen membentuk fraksi masing-masing.
“Dengan aturan ambang batas pembentukan fraksi, partai yang memiliki sedikit kursi di parlemen harus bergabung dengan partai lain apabila tidak memenuhi persentase ambang batas pembentukan fraksi di parlemen,” terang Titi.
Sebagaimana putusan MK, Titi mengingatkan, ke depan, perubahan ambang batas parlemen oleh DPR harus mematuhi norma Pasal 414 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pertama, perubahan ambang batas parlemen didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Kedua, perubahan harus menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Perubahan parliamentary threshold juga harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan
penyerderhanaan partai politik.
Selain itu, perubahan ambang batas parlemen wajib melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
“Lalu, perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029,” tutur Titi.
Lebih lanjut, Titi menilai, putusan MK ini cukup komprehensif lantaran mempertimbangkan aspek kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan kepastian hukum.