TAHUN 2020, filosof kenamaan dari Harvard University, Michael Sandel, menerbitkan buku berjudul "The Tyranny of Merit: What's Become of the Common Good".
Buku tersebut membahas tentang fenomena "backlash" dan pembalikan arah perilaku pemilih Amerika di pemilihan umum 2016 lalu, yang memenangkan Donald Trump di satu sisi dan perubahan sistematis dalam cara pandang publik Amerika terhadap mekanisme meritokrasi yang terjadi di dunia pendidikan di sisi lain.
Komoditifikasi pendidikan yang berlebihan pada sistem pendidikan Amerika, di mana sistem sumbangan sangat menentukan dalam proses rekruitmen mahasiswa pada perguruan tinggi kelas atas, mulai dari Yale University sampai Harvard University (Ivy League), memicu cara pandang sinis kepada lulusan-lulusan perguruan tinggi terbaik Amerika tersebut sekaligus kepada para intelektual terkait dengan institusi pendidikan yang ada di Amerika.
Sinisme tersebut terkait langsung dengan kondisi ketimpangan ekonomi yang sudah berlangsung lama di negeri Paman Sam, di mana salah satu sebabnya dipandang berasal dari disfungsionalitas para pakar dan intelektual.
Semakin kaya seseorang, semakin besar peluangnya mendapatkan pendidikan bagus, yang kemudian semakin memperbesar kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan di sektor-sektor andalan di Amerika, mulai dari perusahaan-perusahaan bonafid di Wall Street, sampai pada perusahaan farmasi kelas kakap atau Think tank berkaliber internasional.
Latar ketimpangan ekonomi yang membentuk sistem meritokrasi di Amerika itu kemudian berimbas pada cara pandang publik kepada para pakar dan ahli.
Para pakar dan ahli dipandang sebagai bagian dari sistem korup yang dikuasai oleh oligarki dan elite-elite ekonomi politik yang bercokol di Wall Street dan Gedung Putih. Sistem rekruitmennya dinilai tidak berbeda dengan sistem rekruitmen elitis dunia perguruan tinggi kenamaan di negeri Paman Sam itu.
Fenemena memudarnya peran kepakaran ini bertemu dengan era digital, di mana publik akhirnya semakin mendapatkan tempat untuk mengekspresikan aspirasinya secara tak berbatas di dunia baru (dunia maya) sekaligus bertumbuhnya banyak sumber informasi alternatif yang tidak lagi bergantung kepada kehadiran para pakar.
Sementara itu, sayangnya para pakar dan ahli semakin hari semakin kurang sensitif dalam menghormati eksistensi sisi non rasional dari masyarakat, seperti adanya rasa cinta, favoritisme, fanatisme, kebencian, keberuntungan, dan sejenisnya.
Walhasil, tahun 2016, “kepongahan” para intelektual pendukung Hillary Clinton, yang kerap menyajikan data, fakta, dan rasionalitas kelas elitis selama masa kampanye, lalu melabeli para pendukung Donald Trump dengan label bodoh, akhirnya gagal memahami realitas emosional pemilih Amerika.
Cara berpikir sederhana yang ditawarkan Donald Trump dan Steve Banon ternyata jauh lebih menyentuh hati rakyat Amerika, meskipun berkali-kali kepala mereka disapa oleh sajian-sajian intelektual dari tim kampanye Hillary.
Pertama, beberapa kata tentang patriotisme dan urgensi keadidayaan Amerika jauh lebih beresonansi dengan pemilih, ketimbang data dan fakta “njilimet” dari para pakar tentang masa depan Amerika yang lebih baik.
Kedua, pendekatan sederhana tersebut berpadu dengan keberuntungan Donald Trump berkat penerapan sistem electoral college. Mengalami kekalahan pada ranah popular vote tiga jutaan suara, tapi ternyata menang di electoral college.
Itulah keberuntungan politik, yang tak terhitung oleh kehebatan rasionalitas tim Hillary.
Ketiga, yang paling penting, adalah jiwa zaman yang lahir di era digital, di mana legitimasi para ahli dan pakar sudah dianggap basi dan memudar karena dinilai sebagai hasil pikiran para intelektual kampus yang dibuahi melalui sistem meritokrasi elitis.