NASIB Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Partai Demokrat kali ini boleh dibilang sangat beruntung karena akhirnya berhasil berdiri bersama pihak yang menang.
Namun posisi tersebut didapat berkat perpaduan kesialan dan keberuntungan, yang terjadi secara sekuensial.
Pasalnya, sebelum memberikan dukungan secara jelas dan tegas kepada paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, AHY dan Partai Demokrat justru dicampakkan secara tidak hormat oleh bacapres Anies Baswedan, persis setelah Partai Nasdem, Surya Paloh, dan Anies Baswedan mendapatkan kawan baru, yakni PKB dan Muhaimin Iskandar.
Ketika itu, Partai Demokrat terguncang hebat. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan para petinggi Partai Demokrat langsung mengadakan konferensi pers dari kediaman SBY di Cikeas guna menanggapi "pengkhiatan" politik Anies Baswedan dan Partai Nasdem tersebut.
Sebaliknya, pihak Partai Nasdem dan Anies justru melakukan "political downplay" untuk mereaksinya.
Dengan kata lain, baik Surya Paloh, Partai Nasdem, maupun Anies menanggapinya dengan cara yang kurang bisa diterima oleh Partai Demokrat.
Pihak Nasdem dan Anies seolah-olah menganggap bahwa apa yang dialami oleh AHY dan Partai Demokrat bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan.
Perlakuan semacam itulah yang membuat kader-kader Partai Demokrat langsung sinis ketika Anies Baswedan berbicara tentang etika politik pada acara debat calon presiden tempo hari.
Apa yang dirasakan oleh kader-kader Partai Demokrat kala itu setali tiga uang dengan apa yang dirasakan oleh Partai Gerindra, yang menganggap bahwa justru Anies adalah pihak yang harus mengoreksi diri saat berbicara tentang etika.
Perlakuan tidak etis yang diterima oleh Partai Demokrat tersebut tentu mau tak mau membuat AHY harus menemukan tempat berlabuh baru yang lebih bisa menghargai eksistensi Partai Demokrat. Dan pilihannya kemudian jatuh kepada pasangan Prabowo-Gibran.
Namun ada yang berbeda dengan sikap dan tindakan SBY, AHY, dan Partai Demokrat kali ini jika dibanding dengan dua pemilihan umum terdahulu.
Kali ini, SBY, AHY, dan Partai Demokrat jauh lebih aktif dalam berkampanye dan lebih serius dalam menunjukkan komitmennya dalam berkoalisi.
Pada dua pemilihan sebelumnya, SBY, AHY, dan Partai Demokrat gagal memberikan kepastian politik kepada para kadernya.
Pada pemilihan 2014, SBY sama sekali tidak memberikan kode jelas kepada kader-kadernya, apakah harus mendukung Jokowi atau Prabowo.
Ambiguitas politik tersebut membuat Partai Demokrat kehilangan banyak suara di satu sisi dan tidak mendapatkan tempat di dalam pemerintahan di sisi lain.