TAHAPAN pemilihan umum 2024 memasuki masa tenang setelah 75 hari menggelar kampanye. Tahapan ini justru tidak setenang yang diharapkan.
Kerja-kerja politik pragmatis terlihat semakin terang dan keputusan-keputusan yang diambil semakin mengambang. Yang mengambang inilah disebut bak dilema yang dinamakan dilema etis politik pragmatis.
Padahal, di masa tenang inilah pemilih diharapkan ada waktu untuk mempertimbangkan kepada siapa suaranya akan diberikan.
Kenyataannya, politik saat ini hanya “tampak muda” saja, namun praktik-praktik di dalamnya sungguh tua, terbelakang, dan menutup perubahan-perubahan yang mampu berjarak antara hasrat, moral, dan kekuasaan.
Politik pragmatis seringkali menjadi medan pertarungan antara prinsip etik dan kepentingan politik. Dalam konteks ini, para pemimpin politik seringkali dihadapkan pada dilema etis yang kritis, di mana mereka harus mempertimbangkan antara memenangkan suara dan memegang teguh prinsip-prinsip etik.
Faktor transaksional menjadi perhatian karena masyarakat akan disajikan calon-calon yang hanya mengejar kekuasaan dibanding kepentingan rakyat.
Faktor politik pragmatis tidak terlepas dari pembiayaan politik. Faktor tersebut akan sulit untuk hilang karena saat ini sumber dana pembiayaan politik masih didominasi sumbangan individu atau kelompok.
Pada akhirnya, politik pragmatis mewariskan sistem yang menyebabkan ada 167 kepala daerah yang ditangkap oleh KPK, di antaranya 22 gubernur dan 145 bupati dan wali kota.
Dilema etis yang dimaksud dalam artikel ini mengacu pada pendapat Arens dan Loebbecke, yakni “situasi yang dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai perilaku yang pantas harus dibuat”.
Berkaca pada situasi politik saat ini, dilema etis kerap dialami pada saat menghadapi situasi yang menghendaki untuk melakukan atau tidak melakukan; berbuat atau tidak berbuat; memutuskan atau membiarkan; dan seterusnya.
Pilihan dilematis seperti ini terkait dengan tanggung jawab kerja politik yang harus bertindak dengan cara adil dan tidak memihak, mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, serta memenuhi tugas dengan integritas berdasar prinsip etis yang diemban.
Prinsip etis yang dimaksud di sini adalah bagaimana kerja-kerja politik dijalankan berdasar pada sumber etika berbangsa dan bernegara kita, yakni Pancasila.
Dalam ketatanegaraan Indonesia, salah satu prinsip dasar yang tidak terbantahkan adalah dianutnya asas demokrasi berdasar Pancasila, di mana sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
Kesadaran etik dan kepribadian Indonesia merupakan pondasi utama dalam menjalankan kehidupan bangsa.
Aktualisasi etika kehidupan berbangsa diatur dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di dalam konsederannya berbunyi: “untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sesuai Pembukaan UUD 1945 tersebut, diperlukan pencerahan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia.”