NATAL adalah momen agung yang dinantikan oleh seluruh umat Nasrani. Tak terkecuali para kandidat/politisi “nakal”. Mata mereka seolah berbinar melihat banyak massa berkumpul.
Sayang dilewatkan jika tidak memanfaatkannya untuk kampanye. Politisasi mimbar Gereja pada momen Natal tak terhindarkan.
Sikap ini tentu keliru karena mengkhianati keduanya: agama dan politik. Kesakralan Natal dibatalkan dan esensi kampanye—yakni tukar pikiran—dihilangkan.
Mencampuradukkan keduanya jelas soal. Kita akan terjerumus pada penyakit demokrasi: politisasi agama dan agamaisasi politik.
Keduanya sangat mungkin terjadi di mimbar gereja, dan ini pengalaman kita. Tarik garis tegas supaya keduanya tak saling kehilangan makna.
Mulai marak kandidat mencari muka di ruang-ruang keagamaan. Modus operandinya adalah kandidat mendadak jadi “tokoh agama”, ahli kitab suci.
Mimbar Gereja dijadikan sebagai alat dan arena untuk mencari massa. Bukan pendeta, tapi tiba-tiba menyampaikan khotbah pada momen Natal.
Lucunya, ada kandidat yang mendadak jadi pengkhotbah dan/atau pemberi sambutan di Gereja yang padahal ia bukan jemaat dari Gereja tersebut.
Yang tak kalah menggelitik dan sering terjadi, kandidat berlagak Robin Hood sesaat dengan sumbang ini-itu untuk persiapan Natal.
Perilaku buruk semacam ini bukan “dosa” kandidat semata. Pihak Gereja tak jarang turut merestui dengan memfasilitasi mereka. Memberi panggung pada saat acara keagamaan, sekaligus sebagai ajang promosi kepada jemaat.
Mimbar Gereja semestinya berisi firman-firman Tuhan. Tak ada ruang untuk “ocehan” di luar itu.
Seolah pilihan menarik, pihak Gereja juga tidak jarang meminta/menerima bantuan materi dari mereka. Tidak ada salahnya jika itu dianggap berkat. Tapi, perlu hati-hati karena ini akan menjadi kutukan jika ada tukar guling kepentingan politik—dukungan suara.
Dari sisi regulasi jadwal kampanye, kesempatan untuk berperilaku seperti ini seolah terbuka lebar. Jadwal kampanye yang ditentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbarengan dengan hari besar keagamaan tertentu. Risikonya, konflik kepentingan antara agama dan politik sulit terhindarkan.
Dari fenomena itu kita bisa tarik benang merah, bahwa baik kandidat maupun pihak Gereja sedang mencampuradukkan urusan politik dengan urusan agama. Dampaknya, demokrasi akan terdistorsi dan akan kehilangan esensinya.
Demokrasi yang mensyaratkan rasionalitas akan dipenuhi unsur-unsur sentimental dan emosional. Yang bukan tidak mungkin akan mengarah pada perpecahan karena mempertajam sentimen identitas keagamaan.