MEGAWATI Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia yang kelima, tiba-tiba menghentak. Melalui tayangan video yang beredar luas, Megawati seolah mengaum, hendak menerkam. Ia mengguntur bagai badai yang menyapu.
Gelegar Megawati kali ini, adalah gelegar yang memberi isyarat jelas, ia tak tahan lagi dengan himpitan.
Megawati, sejatinya, adalah profil politisi yang selalu memilih jalan senyap. Tidak menempuh metode riak. Tak senang dengan kobaran api yang membakar ke mana-mana.
Perjalanan politik yang dilewatinya, penuh liku, padat dengan duri tajam yang setiap saat menggores dan menusuk sekujur tubuhnya.
Namun, ia tidak mengumbar kemarahan yang penuh amuk. Ia lebih banyak diam menerima realitasnya.
Selama ini, kondisi apa pun yang melilitnya, Megawati cenderung memilih metode urut dada ketimbang tepuk dada. Ia lebih terampil mengusap dada ketimbang busung dada sebagai maklumat perkelahian.
Ia cenderung memilih cara-cara seperti yang diajarkan oleh Mahathma Gandhi, Ahimsa: menghindari konflik fisik dan kekerasan.
Megawati sebenarnya sangat potensial melakukan perang dengan kekerasan demi komitmennya pada demokrasi dan kebebasan.
Ia memiliki struktur organisasi kepartaian yang solid ke bawah. Ia mempunyai kader-kader yang sangat ideologis dan militan serta sangat loyal pada dirinya.
Megawati mampu memelihara garis komando yang sangat rapi dan kuat terhadap kader-kadernya. Namun, ia tidak memiliki kehendak seperti itu, menempuh perang atau berkonflik.
Tak terampil mengasah golok perang, karena ia memang selalu memilih keterampilan mengasah intuisi melalui kedalaman kontemplasi.
Karena itu, Megawati dalam penampakan politik, cenderung berdiam diri, menempuh jalur sunyi. Di lintasan senyap itulah ia mengasah hati nuraninya. Karena itu, sensitivitas intuisinya sangat tajam.
Rasanya, di negeri kita sekarang ini, tidak ada lagi pemimpin partai politik, ataukah politisi, yang memiliki pengalaman dan jam terbang politik, sebanyak yang dipunya Megawati.
Ia pernah melewati masa-masa pelik yang melampaui akal sehat untuk memahaminya. Ia tak surut sedikit pun.
Kini, Megawati seolah menghardik terhadap praktik kekuasaan. Malah, ia membandingkan kekuasaan sekarang dengan praktik kekuasaan zaman Orde Baru. Masa kelam bagi demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia.