JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menantang para pelapor untuk meyakinkan mereka, bahwa putusan etik yang mereka terbitkan nanti bisa menjadi dasar untuk mengoreksi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Prinsipnya ini adalah lembaga penegak etik. Kita tidak menilai putusan MK. Tapi kalau Anda ini bisa meyakinkan kami bertiga, dengan pendapat yang rasional, logis, dan masuk akal, bisa diterima akal sehat, why not?" ungkap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Selama ini, perdebatan publik mengenai relevansi MKMK bermuara pada satu topik: apakah lembaga penegak etik itu dapat membatalkan putusan MK, seandainya terbukti ada pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam penyusunannya.
Baca juga: Pemeriksaan 3 Hakim MK Rampung, Majelis Kehormatan Akui Terima Banyak Cerita Sedih
Jimly mengakui bahwa hal itu menjadi problem yang harus dijawab MKMK. Namun, membatalkan putusan MK melalui sebuah putusan etik dinilai sebagai langkah yang dilematis dan, bisa dibilang, sangat berani.
"Harus dibuktikan. Tadi sudah dibuktikan, tapi kami belum rapat. Saya enggak tahu dari kami bertiga ini berapa orang yang sudah yakin, saya kok belum terlalu yakin," ujar Jimly.
Pembuktian yang dimaksud Jimly ada pada penjelasan salah satu pelapor, Denny Indrayana, yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, pada sidang pemeriksaan kemarin pagi.
Dalam bayangan Denny, putusan etik MKMK mungkin tidak dapat langsung membatalkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimum capres-cawapres yang kontroversial itu.
Namun, putusan etik MKMK diharapkan bisa menjadi dasar untuk sidang pemeriksaan ulang perkara nomor 90 itu, dengan asumsi Ketua MK Anwar Usman dinyatakan terbukti melanggar etik.
Pemeriksaan ulang perkara nomor 90 itu harus dengan formasi hakim yang baru, otomatis tanpa Anwar Usman karena terlibat pelanggaran etik.
Baca juga: Saat 2 Pimpinan Komisi II Beda Dukungan Capres Saling Silang Pendapat Soal Tafsir Putusan MK
Pemeriksaan ulang ini sebagai bentuk koreksi karena proses perumusan putusan sebelumnya terdapat pelanggaran etik.
Simulasi ini persis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat (5) sampai (7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Secara rinci, ketiga ayat tersebut berbunyi:
Ayat 5 berbunyi:
"Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara;"
Ayat 6 berbunyi: