Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MKMK Minta Diyakinkan Bisa Koreksi Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres

Kompas.com - 01/11/2023, 07:16 WIB
Vitorio Mantalean,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menantang para pelapor untuk meyakinkan mereka, bahwa putusan etik yang mereka terbitkan nanti bisa menjadi dasar untuk mengoreksi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Prinsipnya ini adalah lembaga penegak etik. Kita tidak menilai putusan MK. Tapi kalau Anda ini bisa meyakinkan kami bertiga, dengan pendapat yang rasional, logis, dan masuk akal, bisa diterima akal sehat, why not?" ungkap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Selama ini, perdebatan publik mengenai relevansi MKMK bermuara pada satu topik: apakah lembaga penegak etik itu dapat membatalkan putusan MK, seandainya terbukti ada pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam penyusunannya.

Baca juga: Pemeriksaan 3 Hakim MK Rampung, Majelis Kehormatan Akui Terima Banyak Cerita Sedih

Jimly mengakui bahwa hal itu menjadi problem yang harus dijawab MKMK. Namun, membatalkan putusan MK melalui sebuah putusan etik dinilai sebagai langkah yang dilematis dan, bisa dibilang, sangat berani.

"Harus dibuktikan. Tadi sudah dibuktikan, tapi kami belum rapat. Saya enggak tahu dari kami bertiga ini berapa orang yang sudah yakin, saya kok belum terlalu yakin," ujar Jimly.

Pembuktian yang dimaksud Jimly ada pada penjelasan salah satu pelapor, Denny Indrayana, yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, pada sidang pemeriksaan kemarin pagi.

Dalam bayangan Denny, putusan etik MKMK mungkin tidak dapat langsung membatalkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimum capres-cawapres yang kontroversial itu.

Namun, putusan etik MKMK diharapkan bisa menjadi dasar untuk sidang pemeriksaan ulang perkara nomor 90 itu, dengan asumsi Ketua MK Anwar Usman dinyatakan terbukti melanggar etik.

Pemeriksaan ulang perkara nomor 90 itu harus dengan formasi hakim yang baru, otomatis tanpa Anwar Usman karena terlibat pelanggaran etik.

Baca juga: Saat 2 Pimpinan Komisi II Beda Dukungan Capres Saling Silang Pendapat Soal Tafsir Putusan MK

Pemeriksaan ulang ini sebagai bentuk koreksi karena proses perumusan putusan sebelumnya terdapat pelanggaran etik.

Simulasi ini persis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat (5) sampai (7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Secara rinci, ketiga ayat tersebut berbunyi:

Ayat 5 berbunyi:

"Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara;"

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.Kompas.com/Fitria Chusna Farisa Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.

Ayat 6 berbunyi:

"Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;"

Ayat 7 berbunyi:

"Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda."

Baca juga: Politisi PDI-P Masinton Akan Kumpulkan Dukungan Dewan untuk Usul Hak Angket MK

Namun, ada dua masalahnya.

Pertama, timbul perdebatan apakah aturan di dalam UU Kekuasaan Kehakiman itu hanya meliputi peradilan di lingkungan Mahkamah Agung atau juga mencakup MK, walau Denny meyakini yang kedua.

Kedua, Jimly menegaskan, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan dengan jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga seharusnya tertutup ruang untuk koreksi atas putusan MK.

Pendiri MK itu menantang para pelapor untuk bisa meyakinkan dirinya, Bintan R Saragih, dan Wahiduddin Adams, bahwa dalam kasus ini, UU Kekuasaan Kehakiman bisa mengesampingkan UUD 1945.

Baca juga: Komisi II Setujui Rancangan PKPU Imbas Putusan MK soal Batas Usia Capres

"Nah, bagaimana itu? Nah, bagaimana (pelapor) meyakinkan kami bahwa undang-undang dasar itu bisa kita langgar. Kan yang mengatur ini Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, lebih rendah dari Undang-Undang Dasar," kata dia.

"Silakan besok itu akan ada lagi ahli-ahli lain berusaha meyakinkan. Bisa saja kita berubah, karena negara sedang berkembang seperti kita ini memerlukan keputusan-keputusan yang progresif, jangan kaku memahami hukum dan konstitusi," jelas Jimly.

Sebagai informasi, dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.

Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.

Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.

Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).

Baca juga: KPU Ungkap Alasan Kirim Surat ke Ketum Parpol Minta Tunduk pada Putusan MK

Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju Putusan 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.

Hingga kini, MK telah menerima secara resmi 18 aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

Aduan tersebut bervariasi, mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan seluruh hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk MKMK.

Baca juga: Pertanyakan Surat Edaran KPU pada Ketum Parpol, Pimpinan Komisi II: Harus Tunduk Putusan MK, KPU Kebablasan

MKMK menyatakan bakal membacakan putusan paling lambat pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Menyusuri Jalan yang Dilalui Para Korban Tragedi 12 Mei 1998...

Menyusuri Jalan yang Dilalui Para Korban Tragedi 12 Mei 1998...

Nasional
Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Nasional
Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Nasional
Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Nasional
Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Nasional
Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Nasional
PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Nasional
Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Nasional
Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Nasional
Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Nasional
Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Nasional
Tinjau TKP Kecelakaan Maut Bus di Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Tinjau TKP Kecelakaan Maut Bus di Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Nasional
Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com